Mengkaji Ulang Humanisme
”Humanisme" dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang.
Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri
kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari
humanisme jauh lebih signifikan: humanisme adalah cara berpikir bahwa
mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan.
Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang
menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka
sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai "sebuah sistem pemikiran
yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang
dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural mana pun".
33
Dewasa ini, humanisme telah menjadi nama lain bagi ateisme. Salah
satu contohnya adalah antusiasme terhadap Darwin yang khas pada majalah Amerika,
The Humanist.
|
Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh pendukungnya.
Salah seorang juru bicara humanisme paling terkemuka di masa kini adalah Corliss
Lamont. Dalam bukunya, Philosophy of Humanism, ia menulis:
(Singkatnya) humanisme meyakini bahwa alam… merupakan jumlah
total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan
pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada.
Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak
memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai
keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.
34
Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan
fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto penting
yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama
dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting masa
itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua
dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang
berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan
pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua,
yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar
pada masing-masingnya: dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak
diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada
otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan
menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Misalnya, enam pasal pertama
dari Manifesto Humanis adalah sebagai berikut:
Pertama: Humanis religius memandang alam semesta
ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan.
Kedua: Humanisme percaya bahwa manusia adalah
bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang
berkelanjutan.
Ketiga: Dengan memegang pandangan hidup organik,
humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus
ditolak.
Keempat: Humanisme mengakui bahwa budaya religius
dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan
sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya
dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu
budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut.
Kelima: Humanisme menyatakan bahwa
sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural
atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima…
Keenam: Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi
teisme, deisme, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”. 35
Pada pasal-pasal di atas, kita melihat ekspresi dari sebuah filsafat umum
yang mewujudkan dirinya di bawah nama materialisme, Darwinisme, ateisme, dan
agnotisisme. Pada pasal pertama, dogma materialis tentang keberadaan abadi alam
semesta dikemukakan. Pasal kedua menyatakan, sebagaimana dinyatakan teori
evolusi, bahwa manusia tidak diciptakan. Pasal ketiga menyangkal keberadaan jiwa
manusia dengan mengklaim bahwa manusia terbentuk dari materi. Pasal keempat
mengajukan sebuah “evolusi budaya” dan menyangkal keberadaan sifat manusia yang
sudah ditakdirkan oleh Tuhan (sifat istimewa manusia yang diberikan pada
penciptaan). Pasal kelima menolak kekuasaan Tuhan atas alam semesta dan manusia,
dan yang keenam menyatakan bahwa telah tiba waktunya untuk menolak "teisme",
yakni kepercayaan pada Tuhan.
Akan teramati bahwa klaim-klaim ini adalah gagasan stereotip, khas dari
kalangan yang memusuhi agama sejati. Alasannya adalah bahwa humanisme adalah
pondasi utama dari perasaan antiagama. Ini karena humanisme adalah ekspresi dari
“
manusia merasa bahwa dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban)”, yang merupakan dasar utama bagi pengingkaran
terhadap Tuhan, sepanjang sejarah. Dalam salah satu ayat Al Quran, Allah
berfirman:
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggungjawaban)?
Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim),
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah
menciptakannya, dan menyempurnakannya,
lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan
perempuan.
Bukankah (Allah) yang berbuat demikian berkuasa (pula)
menghidupkan orang mati?
(QS. Al Qiyaamah, 75: 36-40)
Allah berfirman bahwa manusia tidak akan “dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban)”, dan segera mengingatkan bahwa mereka adalah ciptaan-Nya.
Sebab, begitu menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan Allah, seseorang akan
memahami bahwa dia bukannya “tanpa pertanggungjawaban”, tetapi bertanggung jawab
kepada Allah.
Karena inilah, klaim bahwa manusia tidak diciptakan telah menjadi doktrin
dasar filsafat humanis. Dua pasal pertama dari Manifesto Humanis pertama
mengungkapkan doktrin ini. Lebih jauh lagi, kaum humanis berpendapat bahwa sains
mendukung klaim ini.
Namun, mereka keliru. Sejak Manifesto Humanis pertama dipublikasikan, kedua
premis yang dikemukakan kaum humanis sebagai fakta ilmiah tentang gagasan bahwa
alam semesta abadi dan teori evolusi, telah runtuh:
1. Gagasan bahwa alam semesta adalah abadi digugurkan
oleh serangkaian penemuan astronomis yang dilakukan ketika Manifesto Humanis
pertama tengah ditulis. Penemuan seperti fakta bahwa alam semesta tengah
berkembang, dari radiasi latar kosmis dan kalkulasi rasio hidrogen atas helium,
telah menunjukkan bahwa alam semesta memiliki permulaan, dan muncul dari
ketiadaan sekitar 15-17 miliar tahun yang lalu dalam sebuah ledakan yang dinamai
"Dentuman Besar". Walaupun mereka yang mendukung filsafat humanis dan materialis
tidak rela menerima teori Dentuman Besar, mereka akhirnya dikalahkan. Sebagai
hasil dari bukti ilmiah yang telah diketahui, komunitas ilmiah akhirnya menerima
teori Dentuman Besar, yakni bahwa alam semesta memiliki permulaan, dan karenanya
kaum humanisme tidak dapat membantah lagi. Demikianlah pemikir ateis Anthony
Flew terpaksa mengakui:
… karenanya saya mulai mengakui bahwa ateis Stratonisian telah
dipermalukan oleh konsensus kosmologis kontemporer. Karena tampaknya para ahli
kosmologi memberikan bukti ilmiah tentang apa yang oleh menurut St. Thomas tak
dapat dibuktikan secara filosofis; yakni bahwa alam semesta memiliki
permulaan….36
2. Teori evolusi, pembenaran ilmiah terpenting di balik
Manifesto Humanis pertama, mulai kehilangan pijakan satu dekade setelah
Manifesto itu ditulis. Saat ini diketahui bahwa skenario yang dikemukakan
sebagai asal usul kehidupan oleh kaum evolusionis ateis (dan tak diragukan,
humanis), seperti oleh A.I. Oparin dan J.B.S. Haldane pada tahun 1930, tidak
memiliki keabsahan ilmiah; makhluk hidup tidak dapat diturunkan secara spontan
dari materi tak-hidup sebagaimana diajukan oleh skenario ini. Catatan fosil
menunjukkan bahwa makhluk hidup tidak berkembang melalui sebuah proses perubahan
kecil yang kumulatif, tetapi muncul secara tiba-tiba dengan berbagai
karakteristik yang berbeda, dan fakta ini telah diterima oleh para ahli
paleontologi evolusionis sendiri sejak 1970-an. Biologi modern telah menunjukkan
bahwa makhluk hidup bukanlah hasil dari kebetulan dan hukum alam, tetapi bahwa
pada setiap sistem kompleks dari organisme yang menunjukkan sebuah perancangan
cerdas terdapat bukti bagi penciptaan. (Untuk lebih detail baca Harun Yahya,
Darwinisme Terbantahkan: Bagaimana Teori Evolusi Runtuh di Hadapan
Ilmu Pengetahuan Modern)
Lebih-lebih lagi, klaim keliru bahwa keyakinan religius merupakan faktor yang
menghambat manusia dari perkembangan dan membawanya kepada konflik telah
digugurkan oleh pengalaman sejarah. Kaum humanis telah mengklaim bahwa
penyingkiran kepercayaan religius akan membuat manusia bahagia dan tenteram,
namun, yang terbukti justru sebaliknya. Enam tahun setelah Manifesto Humanis
dipublikasikan, Perang Dunia II meletus, sebuah catatan malapetaka yang dibawa
ke dunia oleh ideologi fasis yang sekuler. Ideologi humanis lainnya, komunisme,
mendatangkan kekejaman yang tak terperi, pertama terhadap bangsa Uni Soviet,
kemudian Cina, Kamboja, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan berbagai negara Afrika
dan Amerika Latin. Sebanyak 120 juta manusia terbunuh oleh rezim atau organisasi
komunis. Juga telah jelas bahwa merek humanisme Barat (sistem kapitalis) tidak
berhasil membawa kedamaian dan kebahagiaan kepada masyarakat mereka sendiri
ataupun kepada wilayah-wilayah lain di dunia.
Keruntuhan
argumen humanisme tentang agama juga telah tampak pada lapangan psikologi. Mitos
Freudian, sebuah batu pijakan dari dogma ateis semenjak awal abad kedua puluh,
telah digugurkan oleh data empiris. Patrick Glynn, dari Universitas George
Washington, menerangkan fakta ini di dalam bukunya yang berjudul God: The
Evidence, The Reconciliation of Faith and Reason in a Postsecular World:
Seperempat abad terakhir dari abad kedua puluh tidaklah ramah terhadap
pandangan psikoanalitik. Yang paling signifikan adalah ditemukannya bahwa
pandangan Freud tentang agama (belum lagi sekumpulan besar masalah lain) adalah
benar-benar keliru. Yang cukup ironis, riset ilmiah dalam psikologi selama dua
puluh lima tahun terakhir telah menunjukkan bahwa, jauh dari sebagai penyakit
saraf atau sumber dari neuroses sebagaimana dinyatakan Freud dan murid-muridnya,
keyakinan agama adalah salah satu kolerasi yang paling konsisten
dari kesehatan mental dan kebahagiaan yang menyeluruh. Kajian demi kajian telah
menunjukkan hubungan kuat antara keyakinan dan praktik agama di satu sisi, dan
tingkah laku yang sehat sehubungan dengan masalah-masalah seperti bunuh diri,
penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang, perceraian, depresi, bahkan mungkin
mengejutkan, tingkat kepuasan seksual di dalam perkawinan, di sisi lain. 37
Singkatnya, apa yang dianggap sebagai pembenaran ilmiah di balik humanisme
telah terbukti tidak sahih dan janji-janjinya gagal. Namun demikian, kaum
humanis tidak meninggalkan filsafat mereka, tetapi malahan mencoba untuk
menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia melalui metode propaganda massa.
Khususnya pada periode pascaperang terjadilah propaganda humanis yang intens di
lapangan sains, filsafat, musik, kesusasteraan, seni, dan film. Pesan menarik
namun kosong yang diciptakan oleh para ideolog humanis telah disampaikan kepada
massa secara bertubi-tubi. Lagu "Imagine" karya John Lennon, penyanyi solo dari
grup musik paling terkenal sepanjang masa, the Beatles, adalah contohnya:
John Lennon, dengan liriknya, "Bayangkan tiada agama," merupakan
salah satu propagandis terdepan dari filsafat humanis di abad ke dua
puluh.
|
Bayangkan tiada surga
Mudah jika kau coba
Tiada
neraka di bawah kita
Di atas kita hanya angkasa
Bayangkan semua
manusia
Hidup untuk hari ini saja...
Bayangkan tiada
negara
Tak sukar untuk dilakukan
Tak perlu membunuh atau
terbunuh
Dan juga tiada agama…
Mungkin kau sebut aku
pemimpi
Tetapi aku bukan satu-satunya
Kuharap suatu hari kau
bergabung dengan kami
Dan dunia akan menjadi satu
|
Lagu ini terpilih sebagai "lagu abad ini" dalam beberapa jajak pendapat yang
diselenggarakan di tahun 1999. Ini merupakan indikasi paling tepat tentang
perasaan sentimental yang digunakan untuk menyampaikan humanisme kepada massa,
karena kurangnya landasan ilmiah atau rasional humanisme. Humanisme tidak dapat
menghasilkan keberatan rasional terhadap agama ataupun kebenaran yang
diajarkannya, tetapi berusaha menggunakan metode sugestif semacam ini.
Ketika janji-janji Manifesto Humanis I di tahun 1933 terbukti gagal, empat
puluh tahun kemudian para humanis mengajukan konsep kedua. Pada awal teks ini
ada upaya untuk menjelaskan mengapa janji-janji pertama tidak membuahkan hasil.
Walaupun ada fakta bahwa penjelasan ini sangat lemah, ini menunjukkan
keterikatan abadi humanisme terhadap filsafat ateis mereka.
Karakteristik paling jelas dari manifesto tersebut adalah mempertahankan
garis antiagama pada manifesto tahun 1933:
Sebagaimana di tahun 1933, kaum humanis tetap memercayai bahwa
teisme tradisional adalah keimanan yang tak terbukti dan sudah ketinggalan
zaman, khususnya keimanan akan Tuhan yang mendengarkan doa, yang dianggap hidup
dan memerhatikan manusia, mendengar dan memahami, serta sanggup mengabulkan
doa-doa mereka…. Kami percaya… bahwa agama-agama otoriter atau dogmatik yang
tradisional, yang menempatkan wahyu, Tuhan, ritus, atau kredo di atas kebutuhan
dan pengalaman manusia merugikan spesies manusia…. Sebagai orang yang tidak
bertuhan, kami mengawali dengan manusia bukannya Tuhan, alam bukannya ketuhanan.
38
Ini adalah penjelasan yang sangat dangkal. Untuk memahami agama, pertama
seseorang membutuhkan kecerdasan dan pemahaman agar mampu menangkap
gagasan-gagasan yang dalam. Ia mesti didekati dengan tulus dan tanpa prasangka.
Alih-alih, humanisme tidak lebih dari upaya dari sekumpulan orang, yang sejak
awal adalah ateis dan antiagama yang bernafsu, untuk menggambarkan prasangka ini
masuk akal.
Bertolak belakang dari janji-janji filsafat humanis, ateisme
hanya membawa perang, konflik, kekejaman, dan penderitaan bagi
dunia.
|
Namun, upaya kaum humanis untuk menggambarkan keimanan kepada Tuhan dan
agama-agama Monoteistik sebagai kredo yang tidak berdasar dan ketinggalan zaman
sebenarnya bukan hal baru; hanya memperbarui sebuah klaim berusia ribuan tahun
dari mereka yang mengingkari Tuhan. Di dalam Al Quran, Allah menjelaskan argumen
seumur dunia yang dikemukakan oleh orang-orang kafir:
Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang
tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan
mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.
Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Apakah yang telah
diturunkan Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Dongeng-dongengan orang-orang dahulu.
(QS. An-Nahl, 16: 22-24)
Ayat ini mengungkapkan bahwa penyebab sebenarnya dari penolakan orang-orang
kafir terhadap agama adalah kesombongan yang tersembunyi di dalam hati mereka.
Filsafat yang disebut humanisme adalah tampak lahiriah belaka dari pengingkaran
akan Tuhan di zaman ini. Dengan kata lain, humanisme bukanlah cara berpikir yang
baru, sebagaimana mereka yang mendukung klaimnya; ia sudah seumur dunia ini,
pandangan dunia yang kuno yang umum pada mereka yang mengingkari Tuhan karena
kesombongan.
Jika kita mencermati perkembangan humanisme di dalam sejarah Eropa, kita akan
menemukan banyak bukti nyata bagi pernyataan ini.
AKAR HUMANISME DI DALAM KABBALAH
Kita telah memahami Kabbalah sebagai sebuah doktrin yang berasal dari Mesir
Kuno, lalu memasuki dan mencemari agama yang diturunkan Allah kepada bani
Israil. Kita juga telah memahami bahwa ia berlandaskan pada cara berpikir yang
sesat, yang menganggap manusia sebagai makhluk agung yang tidak diciptakan
sebelumnya dan telah ada tanpa permulaan.
Humanisme memasuki Eropa dari sumber ini. Keyakinan kristiani berdasarkan
kepada keberadaan Tuhan, dan bahwa manusia adalah hamba-hamba ciptaan-Nya yang
tergantung kepada-Nya. Namun, dengan penyebaran tradisi Templar di seluruh
Eropa, Kabbalah mulai menarik banyak filsuf. Maka, di abad ke-15, arus humanisme
bermula dan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di dalam kancah pemikiran
Eropa.
Hubungan antara humanisme dan Kabbalah ini telah ditegaskan dalam sejumlah
sumber. Salah satunya adalah buku dari pengarang terkenal Malachi Martin yang
berjudul The Keys of This Blood. Martin adalah seorang profesor sejarah
pada Lembaga Injil Kepausan Vatikan. Ia mengungkapkan bahwa pengaruh Kabbalah
dapat dengan jelas teramati di antara para kaum humanis:
Sebagaimana
ditunjukkan oleh sejarawan Universitas Vatikan Malachi Martin, ada hubungan erat
antara kebangkitan humanisme di Eropa dengan
Kabbalah....
|
Di dalam iklim ketidakpastian dan tantangan tidak biasa yang menandai zaman
Italia Renaisans-awal ini, bangkitlah sebuah jaringan persekutuan kaum Humanis
yang bercita-cita melepaskan diri dari kendali menyeluruh dari tatanan mapan
itu. Dengan cita-cita seperti ini, persekutuan-persekutuan ini harus berada di
dalam lindungan kerahasiaan, paling tidak pada awalnya. Namun di samping
kerahasiaan, kelompok-kelompok humanis ini ditandai oleh dua ciri utama lainnya.
Pertama, mereka memberontak terhadap penafsiran tradisional tentang Injil
sebagaimana dipertahankan oleh otoritas gerejawi dan sipil, serta menentang
pilar-pilar filosofis dan teologis yang dikeluarkan oleh gereja bagi kehidupan
sipil dan politis…
Dengan sikap permusuhan seperti itu, tidak mengagetkan jika kelompok-kelompok
ini memunyai konsepsi sendiri tentang pesan orisinil dari Injil dan wahyu Tuhan.
Mereka mengunci diri di dalam apa yang mereka sebut sebagai bentuk pengetahuan
yang sangat rahasia, sebuah gnosis, yang sebagiannya mereka landaskan pada
rantai kepemujaan dan klenik yang berasal dari Afrika Utara khususnya Mesir dan,
sebagiannya, Kabbalah Yahudi yang klasik itu….
Kaum humanis Italia membuang bagian dari
gagasan Kabbalah nyaris tanpa dikenali. Mereka merekonstruksi
konsep gnosis, dan memindahkannya ke latar duniawi yang sepenuhnya ini.
Gnosis khusus yang mereka cari adalah suatu pengetahuan rahasia tentang
bagaimana menguasai kekuatan alam yang buta untuk tujuan sosio-politis. 39
Pendeknya, masyarakat humanis yang terbentuk pada masa itu ingin menggantikan
budaya Katolik Eropa dengan sebuah budaya baru yang berakar pada Kabbalah.
Mereka bermaksud menciptakan perubahan sosiopolitis untuk mewujudkannya. Menarik
bahwa di samping Kabbalah, pada sumber budaya baru ini terdapat doktrin-doktrin
Mesir Kuno. Prof. Martin menulis:
Para calon anggota persekutuan
humanis awal ini adalah pengikut Kuasa Agung Arsitek Kosmos yang Agung yang
mereka representasikan dalam bentuk Tetragrammaton Sakral, YHWH…. (kaum humanis)
meminjam lambang-lambang lain Piramid dan Mata Yang Melihat Segalanya terutama
dari sumber-sumber Mesir. 40
Menarik sekali bahwa kaum humanis menggunakan konsep “Arsitek Agung Alam
Semesta”, sebuah istilah yang masih digunakan oleh kaum Mason saat ini. Ini
menunjukkan bahwa pastilah terdapat hubungan antara kaum humanis dan Mason.
Prof. Martin menulis:
Sementara, di daerah utara lainnya, berlangsung sebuah persatuan yang jauh
lebih penting dengan para humanis. Sebuah persatuan yang tak diduga siapa pun.
Di tahun 1300-an, selama masa persekutuan pengikut kaballah dan humanis mulai
menemukan bentuk-nya, telah ada terlebih dahulu terutama di Inggris, Skotlandia,
dan Prancis berbagai gilda manusia abad pertengahan….
Tidak seorang pun yang hidup di tahun 1300-an dapat memperkirakan
penggabungan pemikiran antara gilda-gilda freemasonry dan kaum humanis
Italia….
Freemasonry baru bergeser dari semua kesetiaan kepada agama Kristen gerejawi
Romawi. Dan sekali lagi, sebagaimana pada para humanis klenik Italia,
kerahasiaan yang dijamin oleh tradisi Loge sangat penting dalam keadaan
tersebut. Namun selain kerahasiaan, kedua kelompok memiliki kesamaan yang lebih
banyak lagi. Dari berbagai tulisan dan catatan Masonry yang spekulatif, jelaslah
bahwa ajaran keagamaan pusat menjadi kepercayaan kepada Arsitek Agung Alam
Semesta suatu sosok yang sekarang akrab dari pengaruh para humanis Italia….
Arsitek Agung ada dan menjadi bagian penting dari materi kosmos, sebuah hasil
dari pemikiran yang “tercerahkan.”
Tidak ada dasar konseptual yang dapat menghubungkan keyakinan seperti ini
dengan agama Kristen. Belum lagi semua gagasan seperti dosa, Neraka sebagai
hukuman dan Surga sebagai ganjaran, dan Pengorbanan abadi dari Misa, santo dan
malaikat, pendeta dan paus. 41
Singkatnya, di Eropa abad keempat belas, sebuah organisasi humanis dan
Masonik lahir dengan mengakar kepada Kabbalah. Dan bagi organisasi ini, Tuhan
tidaklah sebagaimana pandangan Yahudi, Kristen, dan Muslim: yakni sebagai
Pencipta dan Pengatur segenap alam semesta dan satu-satunya Penguasa, serta
Tuhan dari umat manusia. Alih-alih, mereka memunyai konsep sendiri, seperti
“Arsitek Agung Alam Semesta”, yang mereka pandang sebagai “bagian dari alam
materi”.
Dengan kata lain, organisasi rahasia ini menolak Tuhan, sebaliknya, melalui
konsep “Arsitektur Agung Alam Semesta” menerima alam materi sebagai suatu bentuk
ketuhanan.
Agar mendapatkan definisi yang lebih jelas dari kepercayaan yang rusak ini,
kita dapat meloncat ke abad kedua puluh dan mengamati literatur Masonik.
Misalnya, salah satu pengikut Mason Turki yang paling senior, Selami Isindag,
mengarang buku berjudul Masonluktan Esinlenmeler (Inspirasi dari Freemasonry).
Tujuan dari buku ini adalah untuk mendidik pengikut Mason muda. Mengenai
kepercayaan Mason terhadap “Arsitek Agung Alam Semesta”, ia mengungkapkan:
Masonry bukannya tanpa Tuhan. Namun konsep Tuhan mereka berbeda dari yang ada
pada agama. Tuhan Masonry adalah sebuah prinsip agung. Ia
berada pada puncak evolusi. Dengan mengkritisi keberadaan di dalam diri kita, mengenal diri kita, dan secara sengaja menempuh jalan
sains, kecerdasan, dan kebajikan, kita dapat
mengurangi sudut antara ia dan diri kita. Kemudian, tuhan ini memiliki ciri-ciri
baik dan buruk dari manusia. Ia tidak mewujud sebagai pribadi. Ia tidak dipandang sebagai tuntunan alam atau umat manusia. Ia
adalah arsitek dari karya agung alam semesta, kesatuan dan
keselarasannya. Ia adalah totalitas dari semua makhluk di alam semesta,
sebuah kekuatan total yang mencakup segala sesuatu, dan
energi. Walau begitu, tidak dapat dianggap bahwa ia adalah suatu
permulaan… ini sebuah misteri besar. 42
Di buku yang sama, jelas jika kaum Freemason menyebut tentang “Arsitek Agung
Alam Semesta”, yang dimaksudkan adalah alam, atau, artinya mereka menyembah
alam:
Selain alam, tidak mungkin ada
kekuatan yang bertanggung jawab atas pikiran atau tindakan kita….
Prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin Masonry adalah fakta-fakta ilmiah yang
berdasarkan kepada sains dan kecerdasan. Tuhan adalah
evolusi. Unsurnya adalah kekuatan alam. Jadi realitas absolut adalah evolusi itu
sendiri dan energi yang mencakupnya. 43
Majalah Mimar Sinan, sebuah organisasi penerbitan khusus bagi kaum
Freemason Turki juga memberikan pernyataan tentang filsafat Masonik yang sama:
Arsitek Agung Alam Semesta adalah
kecenderungan menuju keabadian. Ia adalah jalan masuk ke keabadian. Bagi kami,
ia adalah suatu pendekatan. Ia menuntut pencarian tanpa henti terhadap
kesempur-naan mutlak di keabadian. Ia membuat jarak antara saat sekarang dan
Freemason yang berpikir, atau, kesadaran. 44
Inilah kepercayaan yang dimaksudkan para Mason ketika berujar, "kami
memercayai Tuhan, kami sama sekali tidak menerima ateis di sekitar kami."
Bukannya Tuhan yang disembah para Mason, namun konsep-konsep naturalis dan
humanis semacam alam, evolusi, dan kemanusiaan yang dituhankan oleh filosofi
mereka.
Jika kita sekilas mengamati literatur Masonik, kita dapat mulai melihat bahwa
organisasi ini tidak lebih dari humanisme yang terorganisasi, juga memahami
bahwa sasarannya adalah untuk menciptakan sebuah tatanan humanis sekuler di
seluruh penjuru dunia. Berbagai gagasan ini lahir di antara kalangan humanis
dari Eropa abad keempat belas; sementara para Mason saat ini masih mengajukan
dan membelanya.
HUMANISME MASONIK: PENYEMBAHAN MANUSIA
Berbagai terbitan internal Mason secara rinci menjelaskan filosofi humanis
organisasi ini dan permusuhan mereka terhadap monoteisme. Tak terhitung
banyaknya penjelasan, penafsiran, kutipan, dan alegori yang diajukan tentang
topik ini di dalam terbitan Masonik.
Pico Della
Mirandola, seorang humanis Kabbalis yang terkemuka. |
Sebagaimana diungkapkan di awal, humanisme telah memalingkan wajahnya dari
Pencipta umat manusia dan menerima manusia sebagai “bentuk tertinggi dari
keberadaan di alam semesta”. Nyatanya, ini bermakna penyembahan terhadap
manusia. Keyakinan tidak rasionil ini, yang diawali dengan kaum humanis pengikut
Kabbalah di abad keempat belas dan kelima belas, berlanjut hari ini dengan
Masonry modern.
Salah satu humanis paling terkenal dari abad keempat belas adalah Pico Della
Mirandola. Karyanya yang berjudul Conclusiones philosophicae, cablisticae, et
theologicae dihujat oleh Paus Innocent VIII pada tahun 1489 sebagai mengandung
pemikiran-pemikiran bidah. Mirandola menulis bahwa tidak ada yang lebih tinggi
di dunia selain kegemilangan manusia. Gereja memandang ini sebagai gagasan bidah
dan tidak pelak lagi adalah penyembahan terhadap manusia. Memang, ini merupakan
gagasan bidah karena tidak ada sesuatu pun yang patut dimuliakan selain Allah.
Manusia hanyalah ciptaan-Nya.
Dewasa ini, kaum Mason memroklamirkan pemikiran bidah Mirandola tentang
penyembahan manusia secara jauh lebih terbuka. Misalnya, pada sebuah buku kecil
Masonik dikatakan:
Masyarakat-masyarakat primitif dahulu lemah, dan karena kelemahan ini,
mereka menuhankan kekuatan dan fenomena di sekitar mereka. Namun Masonry
menuhankan manusia saja 45
Di dalam The Lost Key of Freemasonry, Manly P. Hall menjelaskan bahwa
doktrin humanis Masonik ini berakar dari Mesir Kuno:
Manusia adalah tuhan dalam proses
penciptaan, dan sebagaimana di dalam mitos-mitos mistik Mesir, di atas
jentera pembuat tembikar, dia dibentuk. Ketika cahayanya bersinar untuk
mengangkat dan melindungi segala sesuatu, dia menerima mahkota rangkap tiga
ketuhanan, dan bergabung dengan rombongan Pemimpin Mason, yang dengan jubah Biru
dan Emas mereka, berupaya untuk menghalau kegelapan malam dengan cahaya rangkap
tiga dari Loge Masonik. 46
Artinya, menurut kepercayaan palsu Masonry, manusia adalah tuhan, namun hanya
pemimpin agung yang mencapai kesempurnaan ketuhanan. Agar menjadi seorang
pemimpin agung adalah dengan menolak sepenuhnya keimanan pada Tuhan dan fakta
bahwa manusia adalah abdi-Nya. Fakta ini secara ringkas disebutkan oleh penulis
lain, J.D. Buck, dalam bukunya Mystic Masonry:
Satu-satunya diri Tuhan yang diterima
Freemasonry adalah kemanusiaan sempurna…. Karenanya kemanusiaan adalah
satu-satunya tuhan. 47
Jelaslah bahwa Masonry adalah suatu bentuk agama. Namun,
agama di sini tidaklah Monoteistik; melainkan suatu agama humanis, dan karenanya
merupakan agama yang keliru. Ia mencakup penyembahan atas manusia, bukan Tuhan.
Tulisan-tulisan Masonik menekankan poin ini. Pada sebuah artikel di majalah Turk
Mason (Mason Turki), disebutkan, “Kita selalu menyatakan
bahwa cita-cita tinggi Masonry terletak pada doktrin 'Humanisme'.” 48
Terbitan Turki lainnya menerangkan bahwa humanisme adalah sebuah agama:
Sama sekali bukan upacara kering
dari dogma-dogma keagamaan, melainkan sebuah agama yang murni. Dan humanisme kita, ke mana arti hidup mengakar, akan memenuhi
kerinduan yang tidak disadari kaum muda. 49
Bagaimana kaum Mason melayani agama palsu yang mereka percayai ini? Untuk
memahaminya, kita harus mengamati sedikit lebih dekat pada pesan-pesan yang
mereka sebarkan kepada masyarakat.
TEORI MORAL HUMANIS
Dewasa ini, kaum Masonry di banyak negara sibuk memperkenalkan diri kepada
anggota masyarakat lainnya. Melalui berbagai konferensi pers, situs internet,
iklan koran dan pernyataan, mereka menunjukkan diri sebagai sebuah organisasi
yang semata mengabdikan diri untuk kebaikan masyarakat. Dalam beberapa negara
bahkan terdapat organisasi-organisasi amal yang didukung oleh kaum Mason.
Hal serupa diutarakan oleh organisasi Rotary dan Lion's Club, yang merupakan
versi “ringan” dari Masonry. Semua organisasi ini bersikeras bahwa mereka
bekerja untuk kebaikan masyarakat.
Tentu saja, bekerja untuk kebaikan masyarakat tidak untuk diremehkan, dan
kami tidak berkeberatan dengannya. Namun, di balik klaim mereka terdapat sebuah
pesan yang memerdaya. Kaum Mason mengklaim bahwa moralitas dapat terwujud tanpa
agama, dan bahwa sebuah dunia yang bermoral dapat dibina tanpa agama. Pada situs
internet milik Mason, kemungkinan “moralitas tanpa agama” dijelaskan sebagai
berikut:
Apakah manusia itu? Dari mana ia datang dan ke mana ia menuju?... Bagaimana seseorang hidup? Bagaimana ia seharusnya hidup?
Agama-agama mencoba menjawab aneka pertanyaan ini dengan bantuan prinsip-prinsip
moral yang mereka pegang. Namun mereka menghubungkan prinsip-prinsipnya dengan
konsep metafisis seperti Tuhan, surga, neraka, ibadah. Dan manusia harus
menemukan prinsip-prinsip hidupnya
tanpa melibatkan masalah-masalah metafisis, yang harus mereka percayai tanpa
pemahaman. Freemasonry telah menyatakan prinsip-prinsip ini selama
berabad-abad sebagai kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan, kecintaan terhadap
kerja dan perdamaian, demokrasi, dan seterusnya. Semua ini membebaskan manusia
sepenuhnya dari berbagai kredo agama namun tetap memberikan sebuah prinsip
hidup. Mereka mencari landasan-landasan mereka tidak pada konsep-konsep
metafisis tetapi di dalam diri seorang manusia dewasa yang hidup di bumi ini. 50
Teori
Masonik "moralitas humanis" sangat menyesatkan. Sejarah menunjukkan bahwa, di
dalam masyarakat di mana agama telah dihancurkan, tidak ada moralitas dan hanya
ada perselisihan dan kekacauan. Gambar di kanan menunjukkan kebiadaban Revolusi
Prancis dan menggambarkan hasil nyata dari humanisme. |
Kaum Mason yang berpikir seperti ini sepenuhnya bertolak belakang dari
manusia yang beriman kepada Tuhan dan beramal saleh untuk menggapai ridha-Nya.
Bagi mereka, segala sesuatu harus dilakukan semata-mata demi kemanusiaan. Kita
dapat mengamati cara berpikir ini pada sebuah buku terbitan komunitas Turki:
Moralitas Masonik didasarkan atas cinta terhadap
kemanusiaan. Ia sepenuhnya menolak kebajikan karena harapan di masa depan, suatu
ganjaran, suatu pahala, dan surga,
karena ketakutan terhadap orang lain, suatu lembaga agama atau politik,
kekuatan supranatural yang tidak diketahui… Ia hanya mendukung dan
memuliakan kebaikan yang berhubungan dengan cinta terhadap keluarga, negara,
umat manusia, dan kemanusiaan. Inilah salah satu sasaran terpenting dari evolusi
Masonik. Mencintai manusia dan berbuat baik tanpa mengharapkan balasan dan
mencapai tingkat ini adalah evolusi besar. 51
Klaim-klaim pada kutipan di atas sangat menyesatkan. Tanpa disiplin moral
agama tidak akan ada rasa pengorbanan pada masyarakat. Dan, di mana hal ini
tampaknya terwujud, hubungan lebih bersifat permukaan. Mereka yang tidak
memiliki rasa moralitas agama tidak takut ataupun menghormati Tuhan, dan di mana
tidak hadir rasa takut akan Tuhan, manusia hanya memedulikan tujuan-tujuan
mereka sendiri. Tatkala manusia merasa kepentingan pribadinya terancam, mereka
tidak dapat menunjukkan cinta sejati, kesetiaan, ataupun kasih sayang. Mereka
menunjukkan cinta dan rasa hormat hanya terhadap siapa yang membawa keuntungan
bagi diri mereka. Hal ini karena, menurut pemahaman mereka yang keliru, mereka
hanya ada di dunia satu kali, dan karenanya, akan mengambil sebanyak-banyaknya.
Lagi pula, menurut keyakinan keliru ini, tidak ada balasan bagi kecurangan
maupun kejahatan yang mereka lakukan di dunia.
Literatur Masonik penuh dengan upacara moral yang berupaya menutupi fakta
ini. Namun sebenarnya, moralitas ini tanpa agama tidak lebih
dari retorika pura-pura. Sejarah penuh dengan contoh untuk menunjukkan
bahwa, tanpa disiplin diri yang diberikan agama atas jiwa manusia, dan tanpa
hukum tuhan, moralitas sejati tidak dapat dibangun dengan cara apa pun juga.
Sebuah contoh yang mengguncangkan tentang hal ini adalah revolusi besar
Prancis pada tahun 1789. Kaum Mason, yang menggerakkan revolusi tersebut, maju
dengan slogan-slogan yang meneriakkan cita-cita moral berupa “kemerdekaan,
kesetaraan, dan persaudaraan”. Namun, ratusan ribu orang yang tak bersalah
dikirim ke guillotine, dan negeri berkubang darah. Bahkan para pemimpin revolusi
sendiri tidak dapat melarikan diri dari kekejaman ini, dan dikirim ke
guillotine, satu per satu.
Adegan kekerasan lainnya dari Revolusi
Prancis. |
Pada abad kesembilan belas, sosialisme lahir dari gagasan
tentang kemungkinan moralitas tanpa agama, dan membawa malapetaka yang jauh
lebih dahsyat. Sosialisme menurut dugaan menuntut sebuah masyarakat yang sama
rata, adil, tanpa eksploitasi dan, pada akhirnya, mengajukan penghapusan agama.
Namun, pada abad kedua puluh, ia membawa manusia kepada kesengsaraan yang
mengerikan di tempat-tempat seperti Uni Soviet, Blok Timur, China, Indochina,
beberapa negara di Afrika dan Amerika Tengah. Rezim-rezim komunis membunuh tak
terhitung banyaknya manusia; jumlah totalnya mendekati 120 juta jiwa. 52 Apalagi, berlawanan dengan apa
yang diklaimkan, keadilan dan kesetaraan tidak pernah terwujud di rezim komunis
mana pun; para pemimpin komunis yang bertanggung jawab atas negara terdiri dari
segolongan kaum elit. (Dalam buku klasiknya, The New Class, pemikir Yugoslavia
Milovan Djilas, menjelaskan bahwa para pemimpin komunis, yang dikenal sebagai
“nomenklatur” membentuk sebuah “golongan dengan hak-hak istimewa” yang
bertentangan dengan klaim-klaim sosialisme.)
Begitu pula di masa kini, ketika kita mengamati Masonry itu sendiri, yang
terus-menerus menegaskan cita-citanya tentang “pelayanan masyarakat” dan
“pengorbanan untuk kemanusiaan”, kita tidak menemukan catatan yang terlalu
bersih. Di banyak negara, Masonry telah menjadi fokus bagi
hubungan demi perolehan kebendaan secara buruk. Pada skandal Loge Masonik
P2 di Italia pada tahun 1980, jelaslah bahwa Masonry menjalin hubungan
erat dengan mafia, dan bahwa para direktur “loge” terlibat dalam aktivitas
seperti penyelundupan senjata, perdagangan obat terlarang, atau pencucian uang.
Juga terungkap bahwa mereka merancang penyerangan terhadap saingan-saingan
mereka dan orang-orang yang mengkhianati mereka. Pada “Skandal Loge Timur Raya”
di Prancis pada tahun 1992, dan pada operasi “Tangan Bersih” di Inggris, yang
dilaporkan oleh pers Inggris pada tahun 1995, aktivitas-aktivitas loge Masonik
demi kepentingan keuntungan ilegal menjadi jelas. Gagasan kaum Mason tentang
“moralitas humanis” hanyalah kepura-puraan.
Terjadinya hal semacam itu tak terhindarkan, karena, sebagaimana disebutkan
di awal, moralitas hanya terbina di masyarakat berdisiplin agama. Pada landasan
moralitas tiada arogansi dan egoisme, dan satu-satunya yang dapat mewujudkan
keadaan ini adalah mereka yang menyadari tanggung jawab mereka terhadap Tuhan.
Di dalam Al Quran, setelah Allah menceritakan tentang pengorbanan diri orang
beriman, Dia memerintahkan, “...Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al Hasyr, 59: 9). Inilah
landasan sejati bagi moralitas.
Guillotine, sarana kebrutalan Revolusi
Prancis. |
Di dalam Al Quran surat Al Furqan, ciri moralitas orang mukmin sejati
digambarkan sebagai berikut:
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri
untuk Tuhan mereka.
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab
Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal."
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan
tempat kediaman.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
ditengah-tengah antara yang demikian.
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan
(alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh;
maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka
sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat
Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan
buta. (QS. Al Furqan, 25: 63-73)
Jadi, tugas utama orang-orang mukmin adalah beribadah kepada Allah dengan
merendah, “untuk tidak berpaling, seakan mereka tuli dan buta tatkala diingatkan
akan tanda-tanda-Nya”. Oleh karena tugas ini, seseorang selamat dari egoisme,
nafsu keduniaan, ambisi, dan keinginan untuk menjadikan dirinya seperti orang
lain. Jenis moralitas yang disebutkan pada ayat-ayat di atas hanya dapat dicapai
dengan cara ini. Karena itulah, di dalam masyarakat tanpa rasa cinta dan takut
akan Tuhan dan keimanan kepada-Nya, tidak ada moralitas. Karena tidak ada
sesuatu pun yang dapat ditentukan secara mutlak, masing-masing orang menentukan
apa yang benar atau salah sesuai dengan nafsunya sendiri.
Sebenarnya, tujuan utama dari filosofi moral humanis-sekuler Masonry adalah,
bukannya untuk membangun sebuah dunia yang bermoral, tetapi membangun sebuah
dunia sekuler. Dengan kata lain, kaum Mason tidak mendukung filosofi humanisme
karena mereka mengakui amat pentingnya moralitas, namun hanya untuk menyampaikan
kepada masyarakat gagasan bahwa agama tidak penting.
SASARAN MASONIK: MEMBANGUN SEBUAH DUNIA
HUMANIS
Filosofi humanis, yang dipandang tinggi oleh kaum Mason
berlandaskan pada penolakan keimanan kepada Tuhan, dan penyembahan manusia, atau
pemujaan ”kemanusiaan” sebagai pengganti-Nya. Namun, hal ini menimbulkan
pertanyaan penting: apakah kaum Mason memakai keyakinan ini untuk diri mereka
saja, atau mereka ingin untuk diambil oleh orang lain juga?
Jika kita mengamati tulisan-tulisan Masonik, tampak jelas jawabannya:
tujuan organisasi ini adalah untuk menyebarkan filosofi humanis ke seluruh
penjuru dunia, dan menyingkirkan agama-agama Monoteistik (Islam, Kristen, dan
Yahudi).
Misalnya, dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam majalah
Masonik Mimar Sinan, disebutkan, “Kaum Mason tidak mencari asal usul pemikiran
tentang kejahatan, keadilan, dan kejujuran di luar dunia
fisik, mereka meyakini bahwa hal-hal ini timbul dari berbagai kondisi dan
hubungan sosial seseorang, serta apa yang ia perjuangkan di dalam hidupnya.” dan
ditambahkan, “Masonry berusaha menyebarluaskan gagasan ini
ke seluruh penjuru dunia.” "53
Selami Isindag, seorang Mason Turki senior, menulis:
Menurut Masonry, untuk menyelamatkan
kemanusiaan dari moralitas supranatural yang berdasarkan sumber-sumber
agamis, perlu dikembangkan moralitas yang berdasarkan cinta kepada
kemanusiaan yang tidak relatif. Di dalam prinsip-prinsip moral tradisionalnya,
Masonry telah memperhitungkan berbagai kecenderungan organisme manusia,
kebutuhan, hati nurani, kebebasannya untuk berpikir dan berbicara, serta pada
akhirnya, semua hal yang terlibat dalam pembentukan hidup secara alamiah. Oleh
karena itu, tujuannya adalah untuk membentuk dan mendorong
berkembangnya moralitas manusia di dalam semua masyarakat.54
Selami Isindag, seorang Mason Turki senior, menulis:
Yang dimaksudkan oleh Pemimpin Mason Isindag dengan “menyelamatkan umat
manusia dari sebuah moralitas yang berdasarkan pada sumber-sumber agamis” adalah
pengasingan semua orang dari agama. Di buku itu juga, Isindag menjelaskan tujuan
ini dan “prinsip-prinsipnya untuk pembentukan sebuah peradaban yang maju”:
Prinsip-prinsip positif Masonry penting dan cukup untuk pembentukan sebuah
peradaban maju. Prinsip-prinsip itu adalah:
- Pengakuan bahwa Tuhan yang impersonal (Arsitek Agung Alam Semesta) adalah
evolusi itu sendiri.
- Penolakan terhadap kepercayaan akan wahyu, kebatinan, dan
keyakinan-keyakinan kosong.
- Superioritas humanisme rasional dan tenaga kerja.
Pasal pertama dari ketiga pasal di atas mensyaratkan penolakan terhadap
keberadaan Tuhan. (Kaum Mason tidak beriman kepada Tuhan, melainkan kepada
Arsitek Agung Alam Semesta, dan kutipan di atas menunjukkan bahwa yang mereka
maksudkan dengan istilah ini adalah evolusi.) Pasal kedua menolak wahyu dari
Tuhan dan pengetahuan agama yang dilandaskan kepadanya. (Isindag sendiri
menyebutkannya sebagai “keyakinan-keyakinan kosong”) Sedangkan pasal ketiga
memuliakan humanisme dan konsep humanis tentang “tenaga kerja” (sebagaimana di
dalam Komunisme).
Jika kita ingat betapa telah mengakarnya gagasan-gagasan ini di dunia saat
ini, kita dapat memahami pengaruh Masonry atasnya.
Ada hal penting lainnya untuk dicatat: bagaimana Masonry menggerakkan misinya
melawan agama? Jika kita mencermati tulisan-tulisan Masonik, kita melihat bahwa
mereka ingin menghancurkan agama, khususnya pada tingkat kemasyarakatan, melalui
“propaganda” massa. Pemimpin Mason Selami Isindag memperjelas perihal ini di
dalam bagian bukunya ini:
…Bahkan rezim-rezim yang sangat represif belum berhasil
dalam upaya mereka menghancurkan lembaga agama. Memang, kekasaran metoda
politis yang berlebihan, dalam usaha mereka untuk mencerahkan masyarakat dengan
menyelamatkan manusia dari iman dan dogma-dogma agama, malahan menghasilkan
reaksi yang berlawanan: hari ini, tempat-tempat ibadah yang ingin mereka tutup
lebih penuh dari sebelumnya, sementara iman dan dogma-dogma yang mereka larang
malahan semakin banyak pengikutnya. Dalam kuliah lainnya kita
menunjukkan bahwa dalam hal yang menyentuh hati dan emosi seperti ini, larangan dan paksaan tidak berpengaruh. Satu-satunya cara
untuk membawa manusia dari kegelapan menuju pencerahan adalah sains positif
serta prinsip-prinsip logika dan kebijaksanaan. Jika dididik
dengan cara ini, seseorang akan menghormati sisi humanis dan positif dari agama
tetapi menyelamatkan diri mereka dari kegagalan berbagai kepercayaan dan
dogmanya.55
Untuk memahami apa yang dimaksudkan di sini, kita harus menganalisisnya
dengan hati-hati. Isindag menyebutkan bahwa represi atas agama akan membuat
orang-orang religius jauh lebih termotivasi dan akan memperkuat agama. Oleh
karena itu, untuk mencegah agama menguat, Isindag berpendapat seharusnya kaum
Mason menghancurkan agama pada tingkat intelektual. Yang ia maksudkan dengan
“sains positif dan prinsip-prinsip logika dan kebijaksanaan” bukanlah
benar-benar sains, logika, atau kebijaksanaan. Yang ia maksudkan adalah filosofi
materialis humanis semata, yang menggunakan berbagai ungkapan menarik sebagai
kamuflase, seperti halnya dengan Darwinisme. Isindag menegaskan bahwa, tatkala
berbagai pemikiran ini tersebar di tengah masyarakat, “hanya unsur-unsur humanis
di dalam agama yang akan dihormati”, artinya, yang akan tersisa dari agama
hanyalah unsur-unsur yang disetujui oleh filosofi humanis. Dengan kata lain,
mereka hendak menolak kebenaran-kebenaran dasar yang terkandung pada pondasi
agama Monoteistik (Isindag menyebutnya keyakinan-keyakinan dan dogma-dogma yang
gagal). Kebenaran-kebenaran ini adalah berbagai realitas pokok seperti bahwa
manusia diciptakan oleh Tuhan dan bertanggung jawab kepada-Nya.
Singkatnya, kaum Mason bermaksud menghancurkan unsur-unsur keimanan yang
merupakan esensi agama. Mereka ingin mereduksi peranan agama sekadar sebagai
unsur kultural yang menyampaikan gagasannya melalui sejumlah pertanyaan moral
yang bersifat umum. Caranya, menurut kaum Mason, adalah dengan memaksakan
ateisme kepada masyarakat di balik kedok sains dan logika. Namun pada akhirnya,
tujuan mereka adalah menyingkirkan agama dari posisinya walau sebagai unsur
kultural belaka, dan membangun sebuah dunia yang sepenuhnya ateis.
Di dalam artikelnya yang berjudul “Sains Positif - Hambatan Pemikiran dan
Masonry” pada majalah Mason, Isindag berkata:
Sebagai hasil dari semua ini, saya ingin katakan bahwa tugas
humanistik dan Masonik kita semua adalah untuk tidak berpaling dari sains dan
logika, untuk mengakui bahwa inilah cara terbaik dan satu-satunya menurut
evolusi, untuk menyebarkan keimanan kita ini di tengah masyarakat, dan untuk
mendidik manusia di dalam sains positif. Kata-kata dari Ernest Renan sangat
penting: “Jika manusia dididik dan dicerahkan dengan sains positif dan logika,
kepercayaan-kepercayaan yang gagal dari agama akan runtuh
dengan sendirinya.” Kata-kata Lessing mendukung pandangan ini, “Jika manusia dididik dan dicerahkan dengan sains positif dan
logika, suatu hari agama tidak akan dibutuhkan lagi.” 56
G.E. Lessing dan E. Renan. Kaum
Mason ingin mewujudkan impian kedua penulis ateis ini dengan menghapuskan agama
dari muka bumi. |
Inilah sasaran utama Masonry. Mereka ingin menghancurkan agama seluruhnya,
dan membangun sebuah dunia humanis yang berdasarkan pada “kesakralan” manusia.
Tepatnya, mereka ingin mengembangkan sebuah tatanan baru kejahilan, di mana
manusia mengingkari Tuhan yang menciptakannya, dan mempertuhankan dirinya.…
Inilah maksud keberadaan Masonry. Di dalam majalah Masonry bernama Ayna
(Cermin), hal ini disebut “Kuil Pemikiran”:
Kaum Mason modern telah mengubah tujuan Masonry kuno untuk
membangun sebuah kuil secara fisik menjadi gagasan untuk membangun “Kuil
Pemikiran”. Pembangunan sebuah Kuil Pemikiran mungkin
terjadi jika prinsip-prinsip dan kebajikan-kebajikan Masonik terbina dan
orang-orang bijak bertambah di dunia.57
Untuk mencapai tujuan ini, kaum Mason bekerja tanpa lelah di berbagai negara
di dunia. Organisasi Masonik berpengaruh di banyak universitas, lembaga-lembaga
pendidikan lainnya, media, dunia seni dan pemikiran. Ia tidak pernah berhenti
berupaya menyebarkan filosofi humanisnya dalam masyarakat dan mendiskreditkan
kebenaran tentang iman yang menjadi basis agama. Kita akan cermati selanjutnya
bahwa teori evolusi adalah salah satu sarana propaganda utama Mason. Lebih-lebih
lagi, mereka bermaksud membangun sebuah masyarakat yang tidak memedulikan sama
sekali Tuhan atau agama, tetapi hanya memenuhi kesenangan, nafsu, dan ambisi
duniawi. Jadilah masyarakat ini terbentuk dari orang-orang yang telah "menjadikan (Tuhan) sebagai olok-olokan di balik punggung
mereka" (QS. Hud, 11: 92), serupa dengan penduduk kota Madyan yang
disebutkan di dalam Al Quran. Dalam budaya jahiliyah ini tidak ada empat bagi
rasa takut atau cinta terhadap Tuhan, melakukan perintah-Nya, menyembah-Nya,
ataupun pemikiran tentang Hari Akhirat. Nyatanya, gagasan-gagasan ini dianggap
ketinggalan zaman dan merupakan ciri-ciri orang yang tidak terdidik. Pesan ini
diulang-ulang terus di dalam berbagai film, komik, dan novel.
Dalam upaya penipuan yang besar ini, kaum Mason terus berperan sebagai
pemimpin. Namun, banyak pula kelompok dan perseorangan lain yang terlibat di
dalam kerja serupa. Kaum Mason menerima mereka sebagai “kaum Mason kehormatan”,
dan menganggap mereka sebagai sekutu karena mereka semua adalah satu di dalam
filosofi humanis. Selami Isindag menulis: t
Masonry juga menerima fakta ini: Di dunia luar terdapat
orang-orang bijak yang, walaupun mereka bukan kaum Mason, mendukung ideologi
Masonik. Sebabnya adalah karena ideologi ini secara keseluruhan adalah
milik umat manusia dan kemanusiaan. 58
Pertarungan terus-menerus melawan agama ini berlandaskan pada dua argumen
atau pembenaran yang mendasar: filosofi materialis dan teori evolusi Darwin.
Maka, kita akan dapat memahami dengan lebih jelas hal di balik layar dari
pemikiran-pemikiran ini, yang telah memengaruhi dunia semenjak abad kesembilan
belas.
0 komentar:
Posting Komentar