Bagaimana
Saya Tidak Iri?
KotaSantri.com : Tetangga
tepat di depan rumah kami tergolong keluarga mampu. Sang ayah pegawai negeri,
bekerja di sebuah dinas kesehatan kota ,
anak-anaknya ‘jadi’ semua, mapan. Mereka punya pekarangan luas, berbagai macam
tanaman ada didalamnya. Setiap musim buah tiba, entah itu rambutan, mangga,
durian, nangka, klengkeng, dan beberapa jenis lagi yang saya tidak ingat,
sempat membuat saya berpikir "Kenapa Allah tidak menjadikan saya sebagai
salah satu dari keluarga mereka?" Rumah dan halaman yang luas juga
memungkinkan kami, anak-anak bisa leluasa bermain disana. Tapi saya sering
dilarang oleh orang tersebut "Sssstttt....!" katanya, "Jangan
main disini!". Keberadaan keluarga mereka membuat saya iri. Bagaimana saya
tidak iri, jika secara materi mereka mapan, kelihatannya tenteram tidak
kekurangan suatu apapun? Bahkan Pak Lurah waktu itu adalah kerabat dekat
mereka, suatu posisi dimana mereka akan bisa mendapatkan kemudahan dalam hal
misalnya kepentingan mendapatkan surat-surat.
Tidak jauh dari rumah kami,
sebelah timur, juga ada sebuah keluarga yang enam anak-anaknya semua pniter.
Subhanallah! Ada
yang jadi dokter, 5 orang yang saya tahu sarjana semua, lulusan perguruan
tinggi negeri. Secara finansial mereka tidak kekurangan. Mereka
nampak bahagia sekali. Saya lihat si ayah sesudah masa pensiunnya, aktif di
masjid. Sayangnya saya tidak kenal dekat dengan beliau sehingga hampir tidak
pernah berbicara. Beliau kelihatannya juga kurang begitu senang jika kita
banyak bicara. Saya sempat iri melihat mereka, kenapa Allah tidak jadikan saya
sebagai orang yang seperti keluarga mereka: mampu, pinter, dan terpandang di
kampung?
Di belakang rumah,
sekitar 25 meter jaraknya juga demikian. Ada pula sebuah keluarga mampu yang
anaknya hanya tiga orang. Mereka sepertinya tidak pernah mengalami kesulitan
keuangan untuk memilih sekolah mana saja yang diinginkan. Yang tertua sudah
bekerja sebagai pegawai negeri. Yang kedua dan ketiga sedang kuliah. Rumah
mereka bagus, punya toko di depan rumah, perabotan rumah yang indah. Pokoknya
bisa membuat semua orang iri, temasuk saya. Bagaimana saya tidak iri melihat
kebahagiaan mereka? Seorang rekan saya sempat menjadi guru private anak-anaknya
ketika di SD dan SMP.
Di bangku sekolah, saya
sempat iri melihat tiga orang teman saya, semuanya dari desa, namun pinter
membaca Al Quran, bahkan mendominasi acara-acara keagamaan. Kalau sudah tiba
acara yang berbau agama, ketiga orang tersebut muncul, padahal dalam hal
pengetahuan sekolah mereka biasa-biasa saja. Namun kenapa saya iri?
Pada saat kerja, ada
seorang rekan yang sebaya yang dimata saya, lengkap kehidupannya. Pengetahuan
boleh, pekerjaan mapan, harta ada, agama pun tidak ketinggalan. Bagaimana saya
tidak iri jika melihat orang-orang yang ada disekitar saya, teman-teman saya,
memperoleh kehidupan yang layak, sementara saya? Astaghfirullah!
Rumput tetangga nampak
lebih hijau. Begitu kata pepatah populer yang melukiskan bahwa kebahagiaan atau
nasib baik seseorang akan nampak atau kelihatan lebih jelas di mata orang lain.
Iri, kalau saya boleh sebut demikian agar lebih ‘lunak’ ketimbang ‘cemburu’,
adalah hal yang wajar menimpa kehidupan manusia. Hanya orang yang kurang
‘waras’ yang tidak memiliki rasa iri ini. Orang bisa iri karena berbagai sebab
seperti pada contoh-contoh kehidupan nyata diatas. Orang iri bisa disebabkan
karena adanya ketimpangan harta, kedudukan, rumah, pakaian, ketampanan,
kecantikan, kecerdasan, pendidikan, pengalaman, hingga persoalan agama. Melihat
macam-macam penyebab iri ini, jika dirangkum pada dasarnya hanya ada dua: iri
dalam artian positif dan iri negatif.
Kenapa kita bisa iri?
Manusia tidak lepas dari kebutuhan, apakah itu fisik, psikis, sosial serta
spiritual. Keempat kebutuhan manusia ini menuntut adanya keseimbangan
pemenuhannya. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka akan terjadi gangguan
keseimbangan. Namun demikian, kebutuhan orang perorang itu relatif, artinya,
seorang petani meskipun kerja sehari-harinya di sawah bukan berarti dia tidak
membutuhkan pendidikan. Dia tetap butuh, sekalipun pelaksanaannya tidak harus
di bangku sekolah. Sang petani bisa saja menanyakan perihal pertanian kepada
teman-teman sesama petani, atau anggota keluarga yang secara tradisi menekuni
bidang tani, atau kepada penyuluh pertanian. Kegagalan memperoleh pendidikan
dasar pertanian ini akan mengakibatkan misalnya gagalnya panen, rusaknya
tanaman karena pengelolaan yang kurang profesional, dan lain-lain. Demikian
pula di bidang perdangangan, untuk pandai berdagang misalnya, seseorang tidak
harus kuliah ekonomi. Relatif!
Di bidang sosial petani
juga membutuhkan teman, karena di desa-desa kita, sudah menjadi tradisi umum
kalau lahan pertanian itu dikerjakan secara berkelompok. Akan aneh bila petani
memiliki sifat individu yang tinggi yang akibatnya akan sangat merugikan diri
sendiri. Pula halnya pemenuhan kebutuhan psikologis lainnya juga amat penting,
misalnya dukungan moral dari keluarga, kerabat, terhadap sebagai contoh jenis
tanaman yang akan dibenih kelak. Sebagai orang yang beragama, tinggal di
tengah-tengah masyarakat, seorang petani juga perlu pemenuhan akan hal yang
satu ini, mulai dari sholat wajib yang dilaksanakan di mushollah atau masjid,
hingga acara-acara dimana unsur agama akan terlibat didalamnya; pernikahan,
kelahiran, kematian, hingga acara rutin pengajian.
Kegagalan memenuhi salah
satu kebutuhan tersebut dalam tahap dini akan menjadikan bibit-bibit tumbuhnya
perasaan iri pada diri kita. Kalau perasaan ini semakin bertumpuk akan menjadi
kronis dan berdampak negatif terhadap berbagai segi kehidupan, mulai fisik
hingga spiritual. Orang yang merasa iri karena tetangganya selalu berpakaian
mahal, akan terangsang untuk bersaing, berupaya sekuat tenaga bagaimana agar
bisa membeli pakaian yang jika mungkin lebih mahal dari yang dikenakan
tetangganya. Hati dan perasaannya akan terasa panas jika keinginannya tidak
terpenuhi, stres jadi meningkat, nafsu makan berkurang dan ....sakit!
Meski rasa iri ini
bertendensi negatif, bisa pula iri ini digunakan sebagai tool untuk merangsang
diri kita supaya lebih maju dari pada orang lain. Tengok saja panggilan adzan
‘Hayya alal falaah..’ berlomba-lombalah menuju kebaikan. Ini
berarti kita diijinkan menggunakan rasa iri sebagai suatu yang bertujuan
positif. Hal yang demikian itu tidak mudah, membutuhkan latihan serta kesabaran.
Training! Perlu berbagai upaya yang keras agar bisa tercapai. Beberapa resep
dibawah ini bisa membantu agar rasa iri yang negatif bisa berubah menjadi
positif:
Pemahaman diri. Memahami
diri sendiri berarti mengetahui: siapa saya, dimana saya berada, kemana tujuan
saya, apa yang saya kerjakan, mengapa saya melakukannya dan bagaimana kondisi
saya. Kalau kita lihat contoh petani diatas, jika seorang petani menyadari
bahwa dia adalah seorang petani sederhana yang tinggal di desa dekat
persawahan, sehari-hari kegiatannya bergelut dengan alat-alat pertanian, tidak
mengenakan sepatu jika berangkat kerja, dan latar belakang kenapa jadi petani
ya...mungkin saja karena tradisi keluarga, maka tidak ada gunanya jika petani
tersebut merasa iri terhadap tetangganya yang bekerja di rumah sakit yang
setiap hari harus tampak rapi, berpakaian putih, dan harus selalu terkesan
bersih. Seringakli kita terjebak akan kelemahan memahami diri sendiri ini.
Kegagalan menempatkan diri sendiri pada proporsi yang sebenarnya akan berakibat
tumbuhnya kecemburuan yang kurang sehat.
Pemanfaatan potensi. Ada
kalanya orang iri karena dia tidak cantik atau tampan. Padahal kecantikan dan
ketampanan adalah persoalan yang amat relatif seperti halnya quality. Kita bisa
merubah diri kita menjadi cantik atau tampan apabila kita mampu memanfaatkan
potensi yang ada $idalam diri ini secara maksimal. Karena setiap pribadi
dibekali oleh Allah SWT bakat-bakat yang akan tumbuh jika dilatih dengan baik.
Seorang yang berbakat menulis tidak akan bisa menjadi penulis yang baik tanpa
latihan. Orang yang tidak memiliki bakat menulis pun asalkan mau melatih diri
menulis dengan tekun, akan bisa menjadi seorang penulis yang handal. Hasil
tulisannya bisa saja mempengaruhi banyak orang. Buahnya? Secara otomatis orang
akan memberikan penghargaan bagi kita. Jika kita sudah dalam posisi yang
demikian, kecantikan dan ketampanan akan muncul dengan sendirinya tanpa perlu
memoles jasmani.
Yang terakhir dan yang
paling penting adalah syukur. Selalu mensyukuri nikmat Allah SWT atas segala
kebaikan yang dilimpahkan kepada kita karena Allah Mahaadil itu utama. Lihat
saja Pulau Madura yang kering ternyata bisa menghasilkan Batik Madura yang
terkenal, jagung, garam, hingga aneka makanan laut yang bisa dinikmati oleh manusia
di pulau-pulau lain. Pasuruan yang katanya panas, namun rasa mangganya tidak
ada yang menandingi, sehingga Malang pun yang konon kaya akan buah dan sayur,
harus memborong dari sana. Jika sudah tinggal di Pasuruan, kenapa harus iri
untuk bisa memiliki villa di Malang? Banyuwangi kaya akan pisangnya, Madiun
terkenal akan durian dan brem nya, dll. Seorang PRT kelihatannya tidak bisa
apa-apa, namun apa jadinya rumah yang biasanya bergantung kepada PRT jika dia
harus cuti atau sedang sakit? Mobil yang mewah tidak berarti apa –apa tanpa
keterlibatan buruh pabrik karet. Karena itulah kita wajib bersyukur terhadap
nikmat yang besar ini.
Menanggulangi perasaan
yang satu ini tidak semudah membalik tangan. Iri bisa berbahaya sekali apabila
tidak diantisipasi. Orang bisa terjerumus ke dalam jurang yang lebih curam
hanya karena persoalan yang sepele. Oleh sebab itu kita harus hati-hati
menghadapi penyakit ini. Pemahaman terhadap diri sendiri, pemanfaatan potensi,
serta senantiasa bersyukur kepada Allah barangkali sejumlah langkah yang bisa
dimanfaatkan untuk penanggulangannya. Yang lebih penting lagi adalah adanya
kesadaran bahwa hidup ini harus diperjuangkan. Dengan begitu InsyaAllah kita
bisa kebal dan tidak mudah terkotori oleh virus kronis yang sudah menginfeksi semua
sendi kehidupan ini. Wallahu ‘alam! (Syaifoel Hardy)
KotaSantri.com
0 komentar:
Posting Komentar