daftar pengunjung

Rabu, 11 April 2012

Keutamaan Muharam


Keutamaan Muharam

"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Muharam, sedang salat yang paling afdal sesudah salat fardu adalah salat malam."
(HR Muslim)

Dua hari lagi insya Allah kita menginjak bulan Muharam, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Bulan ini termasuk salah satu dari keempat bulan haram sebagaimana difirmankan Allah SWT yang artinya, "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) din yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (At-Taubah: 36). Empat bulan sebagaimana tersebut dalam ayat di atas adalah Muharam, Rajab, Zulkaidah, dan Zulhijah. Dalam empat bulan ini kaum muslimin diharamkan untuk berperang melawan orang kafir.

Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan, Muharam disebut dengan syahrullah (bulan Allah) memiliki dua hikmah. Pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharam. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah dalam mengharamkan bulan Muharam. Pengharaman bulan ini untuk perang adalah mutlak hak Allah saja, tidak seorang pun selain-Nya berhak mengubah keharaman dan kemuliaan bulan Muharam.

Di samping itu, bulan Muharam juga memiliki banyak keutamaan. Salah satunya adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw. di atas, "Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Muharam, sedang salat yang paling afdal sesudah salat fardu adalah salat malam." (HR Muslim).

Puasa pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah 'aasyuura. Aisyah--semoga Allah meridainya--pernah ditanya tentang puasa 'aasyuura, ia menjawab, "Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam." (HR Muslim).

Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari 'aasyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa. Dari Ibnu Abbas r.a., ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah saw. bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa." Rasulullah saw. bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian."

Abu Qatadah berkata, Rasulullah saw. Bersabda, "Puasa 'aasyuura menghapus dosa satu tahun, sedang puasa arafah menghapus dosa dua tahun." (HR Muslim, Tirmizi, Abu Daud).

Pada awalnya, puasa 'aasyuura hukumnya wajib. Namun, setelah turun perintah puasa Ramadan, hukumnya menjadi sunah. Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah saw. memerintahkan untuk puasa 'aasyuura sebelum turunnya perintah puasa Ramadan. Ketika puasa Ramadan diperintahkan, siapa yang ingin boleh puasa 'aasyuura dan yang tidak ingin boleh tidak berpuasa 'aasyuura." (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi).

Ibnu Abbas r.a. menyebutkan, Rasulullah saw. melakukan puasa 'aasyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, "Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharam." Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud). Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharam. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10, 11 Muharam. Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Puasalah pada hari 'aasyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyuura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad).

Ibnu Sirrin melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharam. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/406) . Wallahu a'lam.

Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar