Mengakhiri Ramadhan
Berakhirnya Ramadhan menjadi
saksi atas amal-amal kita. Selamat bagi yang amalnya baik, yang amalnya itu
akan menolongnya untuk masuk Surga dan bebas dari Neraka. Dan celaka bagi orang
yang buruk amalnya lantaran kelengahan dan menyia-nyiakan waktu Ramadhan. Maka
perpisahan dengan Ramadhan hendaknya diakhiri dengan kebaikan, karena ketentuan
amal itu pada pungkasannya. Barangsiapa berbuat baik di bulan Ramadhan
hendaklah menyempurnakan kebaikannya, dan barangsiapa berbuat jahat hendaklah
ia bertobat dan menjalankan kebaikan pada sisa-sisa umurnya. Barangkali tidak
akan menjumpai lagi hari-hari Ramadhan setelah tahun ini. Maka hendaklah
diakhiri dengan kebaikan dan senantiasa melanjutkan perbuatan baik yang telah
dilakukan di bulan Ramadhan pada bulan-bulan lain. Karena
Rabb yang memiliki bulan-bulan itu hanyalah satu, dan Dia mengawasimu dan
menyaksikanmu. Dan Dia memerintahkanmu untuk taat selama hidupmu.
Barangsiapa
menyembah Ramadhan maka sesungguhnya bulan Ramadhan ini telah akan habis dan
lewat. Tetapi barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah itu Maha
Hidup, tidak mati. Maka teruskanlah beribadah padaNya dalam segala waktu.
Sebagian orang beribadah di bulan Ramadhan secara khusus. Mereka menjaga shalat-shalatnya di masjid-masjid, memperbanyak baca Al-Quran, dan menyedekahkan hartanya. Lalu ketika Ramadhan usai, mereka bermalas-malasan, kadang-kadang mereka meninggalkan shalat Jum'at dan tidak berjama'ah. Mereka itu telah merusak apa yang telah mereka bangun sendiri, dan menghancurkan apa yang mereka bina. Seakan-akan mereka menyangka, ketekunannya di bulan Ramadhan itu bisa menghapuskan dosa dan kesalahannya selama setahun. Juga mereka anggap bisa menghapus dosa meninggalkan kewajiban-kewajiban dan dosa melanggar hal-hal yang haram. Mereka tidak menyadari bahwa penghapusan dosa karena berbuat kebaikan di bulan Ramadhan dan lainnya itu hanyalah terhadap dosa-dosa kecil dan itupun terikat dengan menjauhkan diri dari dosa-dosa besar. Allah Ta'ala berfirman, artinya:
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara
dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)."
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)."
(An-Nisaa':
31).
Nabi
SAW bersabda, artinya: "Shalat lima
waktu, Jum'at sampai dengan Jum'at berikutnya, dan Ramadhan sampai Ramadhan
berikutnya adalah penghapus dosa yang terjadi diantara waktu-waktu tersebut,
selama dosa-dosa besar ditinggalkan. "(HR. Muslim).
Dosa
besar mana selain syirik (menyekutukan Allah Ta'ala) yang lebih besar daripada
meninggalkan shalat? Tetapi meninggalkan shalat itu sudah menjadi kebiasaan
yang lumrah bagi sebagian orang. Ketekunan mereka di bulan Ramadhan tidak ada
gunanya sama sekali bagi mereka jikalau mereka melanjutkannya dengan
kemaksiatan-kemaksiatan berupa meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melanggar
larangan-larangan Allah Ta'ala.
Sebagian
ulama ditanya tentang kaum yang tekun ibadah di bulan Ramadhan, tetapi setelah
usai, mereka meninggalkannya dan berbuat buruk. Maka dijawab: Seburuk-buruk
kaum adalah yang tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan. Ya, benar.
Karena orang yang mengenal Allah tentunya ia akan takut padaNya setiap waktu
(bukan hanya di bulan Ramadhan).
Bila bukan karena kesadaran
Sebagian
orang kadang berpuasa Ramadhan dan menampakkan kebaikan serta meninggalkan
maksiat, narnun itu semua bukan karena keimanan dan kesadaran. Mereka
mengerjakan itu hanyalah dalam rangka basa-basi dan ikut-ikutan. Karena hal ini
terhitung sebagai tradisi masyarakat. Perbuatan ini adalah kemunafikan besar,
karena orang-orang munafik memang pamer kepada manusia dengan
menampak-nampakkan ibadahnya.
Orang-orang
munafik itu menganggap bulan Ramadhan ini sebagai penjara, sementara yang
ditunggu adalah usainya, untuk berkiprah dalam kemaksiatan dan
perbuatan-perbuatan haram, bergembira ria dengan usainya Ramadhan lantaran
bebasnya dan kungkungan.
Rasulullah
SAW bersabda:
"Telah masuk pada kalian bulan kalian
ini," kata Abu Hurairah dengan menirukan sumpah
Rasulullah SAW, "tidak ada bulan
yang melewati Muslimin yang lebih baik bagi mereka daripadanya, dan tidak ada
bulan yang melewati orang-orang munafik yang lebih buruk bagi mereka
daripadanya," kata Abu Hurairah dengan menirukan sumpah Rasulullah
SAW., "Sesungguhnya Allah pasti akan
menulis pahalanya dan sunat-sunnatnya sebelum (mukmin) memasukinya (bulan
Ramadhan itu), dan akan menulis dosanya dan celakanya sebelum (munafik)
memasukinya. Hal itu karena orang mukmin menyediakan makanan dan
nafakah/belanja di bulan itu untuk ibadah kepada Allah, dan orang munafik
bersiap-siap di bulan itu karena membuntuti kelalaian-kelalaian mukminin dan
membuntuti aurat-aurat (rahasia-rahasia) mereka, maka dia (munafik) memperoleh
jarahan yang diperoleh orang mukmin." (HR. Ahmad dan lbnu Khuzaimah
dalam Shahihnya dan Abi Hurairah).
Kegembiraan mukminin beda dengan munafikin
Orang
mukmin bergembira dengan selesainya Ramadhan karena telah memanfaatkan bulan
itu untuk ibadah dan taat, maka dia mengharap pahala dan keutamaannya. Sedang
orang munafik bergembira dengan selesainya bulan itu karena akan berangkat
untuk bermaksiat dan mengikuti syahwat yang selama Ramadhan itu telah
terkungkung.
Oleh
karena itu orang mukmin melanjutkan kegiatan setelah bulan Ramadhan dengan
istighfar, takbir dan ibadah, namun orang munafik melanjutkannya dengan maksiat-maksiat,
hura-hura, pesta-pesta musik dan nyanyian karena girang dengan berpisahnya
Ramadhan dari mereka. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai hamba Allah, dan
berpisahlah dengan Ramadhanmu dengan taubat dan istighfar.
Menutup Ramadhan
Wahai
hamba Allah, termasuk hal yang disyari'atkan Allah dalam menutup Ramadhan yang
diberkahi itu adalah shalat led dan membayar zakat fitrah sebagai rasa syukur
kepada Allah Ta'ala atas telah ditunaikannya kewajiban puasa. Sebagaimana Allah
mensyari'atkan shalat iedul Adha sebagai tanda syukur kepada-Nya atas penunaian
kewajiban ibadah haji. Keduanya adalah Hari Raya Islam. Telah diriwayatkan
secara shahih dari Nabi SAW bahwa beliau ketika datang di Madinah penduduknya
mempunyai dua hari yang mereka itu bermain-main di hari itu, beliau bersabda:
"Sungguh Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan yang lebih baik daripada keduanya, (yaitu) hari (raya) kurban dan hari (raya) fitri."
"Sungguh Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan yang lebih baik daripada keduanya, (yaitu) hari (raya) kurban dan hari (raya) fitri."
Maka
tidak boleh menambahi dua hari raya ini dengan mengadakan hari-hari raya baru
yang lain. Hari raya dalam Islam itu disebut ied (kembali) karena dia itu
kembali dan berulang-ulang lagi setiap tahun dengan kegembiraan dan kesenangan,
karena karunia yang telah Allah mudahkan berupa pelaksanaan ibadah puasa dan
haji, yang keduanya itu adalah termasuk rukun Islam.
Dan karena Allah SW mengembalikan pada dua hari raya itu atas hambanya
dengan kebaikan, dan membebaskan dari api Neraka. Sungguh Nabi SAW telah
memerintahkan khalayak urnum, sampai wanita-wanita sekalipun, agar keluar untuk
shalat ied. Kaum wanita disunnahkan menghadirinya tanpa pakai wewangian, tidak
berpakaian dengan pakaian bias dan pakaian yang menarik perhatian, dan tidak
bercampur aduk dengan lelaki. Sedang wanita yang sedang haidh agar keluar untuk
menghadiri da'wah (khutbah) dan menjauhi tempat shalat.
Keluar
untuk shalat ied itu adalah menampakkan syiar Islam dan menjadi suatu pertanda
yang nyata, maka bersemangatlah untuk menghadirinya wahai orang yang dirahmati
Allah. Karena sesungguhnya ied itu termasuk kesempurnaan hukum-hukum pada bulan
yang diberkahi ini. Upayakanlah betul-betul untuk khusyu', ghaddhul bashar
(menjaga pandangan dan yang haram), dan tidak isbal(tidak memanjangkan pakaian
sampai bawah mata kaki bagi lelaki). Hendaklah menjaga lisan dan omong kosong,
porno, dan bohong. Juga jagalah pendengaran dan mendengarkan perkataan yang tak
karuan, nyanyian-nyanyian, musik, dan mendatangi pesta-pesta, hura-hura dan
permainan yang diadakan oleh sebagian orang bodoh. Karena seharusnya ketaatan
itu diikuti dengan ketaatan pula, bukan sebaliknya. Oleh karena itu Nabi
mensyari'atkan bagi ummatnya untuk menyambung puasa Ramadhan itu dengan puasa
sunnat 6 hari di bulan Syawwal.
Bahwasanya
Nabi SAW bersabda:
"Barangsiapa
berpuasa Ramadhan dan diikuti dengan (puasa sunnah) enam hari dari Bulan
Syawwal maka seakan-akan ia berpuasa setahun." (HR. Muslim). Hartono.
0 komentar:
Posting Komentar