daftar pengunjung

Rabu, 11 April 2012

Salamatus Sadr (Hati yang Selamat)


Bidang Da’wah PK FKIP IMM
 
Salamatus Sadr (Hati yang Selamat)

Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., "Manusia manakah yang paling mulia?" Rasulullah saw. menjawab, "Setiap yang bersih hatinya dan benar lisannya." Mereka bertanya, "Kami sudah mengetahui lisan yang benar, lalu apakah hati yang bersih?" Rasulullah menjawab, "Yaitu orang yang bertakwa, yang bersih, yang tidak ada dosa, kezaliman, dendam, dan dengki di dalamnya." (HR Ibnu Majah).
Islam menekankan agar seorang muslim memiliki hati yang bersih (salamatus sadr). Yaitu, hati yang di dalamnya tidak ada rasa iri, dengki, dan dendam kepada muslimin lainnya. Hati yang bersih adalah nikmat yang diberikan Allah kepada penduduk surga. Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipannya.". (Al-Hijr: 47). Antara penduduk surga yang satu dengan yang lainnya tidak ada rasa dendam dalam hati mereka.

Salamatus sadr juga merupakan akhlak dari orang yang berilmu. Para ulama menyebutkan akhlak orang berilmu itu di antaranya adalah tidak menjilat, tidak mencela, tidak sombong, tidak dengki, tidak iri, tidak dendam, tidak melaknat, dan menjauhkan diri dari berprasangka buruk kepada mukmin lainnya.

Mewujudkan salamatus sadr bukanlah perkara mudah. Hal yang mendukung ini adalah kisah sebagaimana dituturkan Anas bin Malik r.a., "Kami tengah duduk bersama Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda, 'Akan muncul di hadapan kalian seorang dari penduduk surga.' Setelah itu muncullah seorang lelaki Anshar sembari merapikan jenggotnya karena habis berwudu, sementara tangan kirinya membawa sandal."

Pada hari berikutnya, sebelum lelaki tersebut datang, Rasulullah bersabda dengan sabda yang serupa. Begitulah yang juga terjadi pada hari yang ketiga. Hal ini membuat Abdullah bin Amr bin Ash r.a. merasa penasaran, apa kiranya yang membuat lelaki tadi selama tiga hari berturut-turut dikatakan Rasulullah saw. sebagai penduduk surga.
Abdullah bin Amr bin Ash kemudian meminta izin kepada lelaki tersebut untuk bermalam di rumahnya selama tiga hari. Beliau ingin melihat apakah yang dikerjakan lelaki tersebut sehingga mendapat predikat penduduk surga. Ia tidak melihat lelaki tersebut bangun malam kecuali apabila ia membalikkan tubuhnya ia berzikir kepada Allah dan bertakbir sampai ia bangun untuk melaksanakan salat fajar. Abdullah r.a. berkata, "Saya tidak pernah mendengar ia berbicara, kecuali yang baik."

Setelah tiga malam berlalu, Abdullah r.a. berkata, wahai hamba Allah .... selama tiga hari berturut-turut saya mendengar Rasullah bersabda tentang dirimu dengan mengatakan, "Akan muncul kepada kalian seorang dari penduduk surga." Karena itu, aku bermalam bersamamu selama tiga hari untuk melihat apa yang engkau lakukan, tetapi aku tidak melihatmu melakukan amal yang banyak, lalu apakah yang engkau lakukan sehingga disebut Rasulullah sebagai penduduk surga? Lelaki itu menjawab, "Tidaklah ia kecuali apa yang engaku lihat." Lalu ketika saya berpaling ia memanggilku, "Tidaklah ia kecuali yang engkau lihat, hanya saja aku tidak mempunyai rasa iri dengki kepada siapa pun dari orang muslim yang mendapatkan kebaikan dari Allah Taala. Abdulah bin Amr bin Ash berkata, "Sifat inilah yang menyampaikanmu kepada kedudukan yang tinggi dan inilah yang sulit dilakukan orang-orang."

Salamatus sadr adalah unsur penting dalam membangun persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah). Dan, inilah yang telah dicontohkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar. Sebagaiman Allah berfirman, "Dan mereka (orang-orang anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin)." (Al-Hasyr: 9).

Maksudnya, orang-orang Anshar tidak merasa hasad (dengki) kepada kaum Muhajirin yang mendapatkan keutamaan dari Allah dalam kemuliaan dan kedudukannya dibanding kaum Anshar.(Tafsir Ibnu Katsir 4/304). Wallahu a'lam. (Jum’at,06-Juni-2008)

0 komentar:

Posting Komentar