Salat
dalam Perjalanan
Salat dalam
perjalan itu memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri, kami sebutkan sebagai
berikut.
1.
Mengqashar Salat yang Empat Raka'at
Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidak ada salahnya bila
kamu mengqashar salat, kalau kamu khawatir akan diganggu oleh orang-orang
kafir."
Alasan karena khawatir gangguan buat dibolehkannya
mengqashar itu, di sini tidak dipakai, berdasarkan keterangan dari Ya'la bin
Umaiyah, katanya:
Saya bertanya kepada Umar bin Khattab, "Bagaimana pendapat Anda tentang mengqashar salat, berhubung firman Allah, 'Kalau kamu khawatir akan diganggu oleh orang-orang kafir'." Jawab Umar, "Hal yang kamu kemukakan itu juga menjadi pertanyaa bagi saya, hingga saya sampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda, 'Itu merupakan sedekah yang dikurniakan Allah kepadamu semua, maka terimalah sedekah itu'!" (HR Jama'ah).
Saya bertanya kepada Umar bin Khattab, "Bagaimana pendapat Anda tentang mengqashar salat, berhubung firman Allah, 'Kalau kamu khawatir akan diganggu oleh orang-orang kafir'." Jawab Umar, "Hal yang kamu kemukakan itu juga menjadi pertanyaa bagi saya, hingga saya sampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda, 'Itu merupakan sedekah yang dikurniakan Allah kepadamu semua, maka terimalah sedekah itu'!" (HR Jama'ah).
Dan
diriwayatkan pula oleh Ibnu Jureir dari Abu Munib al-Jarsy, bahwa pada suatu
ketika Ibnu 'Umar ditanya perihal firman Allah yang tersebut di atas, berhubung
sekarang keadaan sudah aman dan tak perlu khawatir kepada siapa pun. Apakah
masih boleh mengqashar salat? Ujar Ibnu Umar: "Cukuplah bagimu Rasulullah
saw menjadi teladan yang sebaik-baiknya."
Dan dari
Aisyah katanya: "Mula-mula salat itu diwajibkan dua dua raka'at di Mekah.
Setelah Rasulullah saw pindah ke Madinah, yang dua raka'at itu ditambah dua
lagi, kecuali Maghrib karena ia merupakan witirnya siang, begitu pula salat
Fajar atau Shubuh karena bacaaannya panjang. Maka jikalau beliau bepergian,
beliau pun salat sebagaimana yang dulu-dulu, yakni yang difardukan di Mekah.
(Riwayat Ahmad, Baihaqi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, serta
perawi-perawinya dapat dipercaya).
Ibnul
Qoyyim berkata: "Jikalau bepergian, Rasulullah saw selalu mengqashar salat
yang empat raka'at dan mengerjakannya hanya dua-dua raka'at, sampai beliau
kembali ke Madinah. Tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa beliau tetap
melakukan empat raka'at. Hal itu tidak menjadi perselisihan bagi imam-imam,
walau mereka berlainan pendapat tentang hukum mengqashar. 'Umar, 'Ali, Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar dan Jabir menetapkan bahwa hukumnya
wajib, dan hal ini juga dianut oleh mazhab Hanafi. Maliki menetapkannya sebagai
sunnah muakkad. Dan lebih ta'kid lagi dari salat berjamaah, sehingga apabila
seorang musafir tidak mendapatkan kawan sesama musafir untuk berjama'ah,
hendaklah ia salat secara perorangan dengan mengqashar, dan makruh baginya
mencukupkan empat raka'at dan bermakmum kepada orang mukim. Menurut golongan
Hambali, mengqashar itu hukumnya jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik
daripada menyempurnakan. Demikian juga pendapat golongan Syafi'i, kalau memang
sudah mencapai jarak boleh mengqashar.
2.
Jarak Bolehnya Mengqashar
Menurut
ayat tersebut di atas dapat diambil keterangan bahwa pada setiap bepergian,
pendeknya apa yang dikatakan menurut bahasa bepergian, biar jauh ataupun dekat,
boleh dilakukan mengqashar itu. Selain itu boleh pula dilakukan jama' serta
berbuka, yakni tidak melakukan puasa wajib. Tidak sebuah hadits pun yang
menyebutkan batas jauh atau dekatnya bepergian itu. Ibnul Mundzi dan ulama yang
lain menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat tentang masalah ini. Di sini
akan kita cantumkan yang lebih kuat, yaitu:
Ahmad,
Muslim, Abu Daud, dan Baihaqi meriwayatkan dari Yahya bin Yazid, katanya:
"Saya
bertanya kepada Anas bin Malik perihal mengqashar salat. Ujarnya: 'Rasulullah
saw bersembahyang dua raka'at kalau sudah keluar sejauh tiga mil atau tiga
farsakh'."
Hafidz
Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab al-Fath, bahwa inilah hadits yang paling sah
dan paling tegas menjelaskan jarak bepergian yang dibolehkan mengqashar
itu."
Keragu-raguan
soal mil atau farsakh dapat diberi penjelasan oleh hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Sa'id al-Khudry, katanya:
"Apabila Rasulullah saw bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar salat." (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur dan disebutkan oleh Hafidz dalam at-Talkhis dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya).
"Apabila Rasulullah saw bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar salat." (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur dan disebutkan oleh Hafidz dalam at-Talkhis dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya).
Sebagaimana
diketahui satu farsakh itu sama dengan tiga mil. Maka hadits Abu Said ini cukup
menghilangkan keragu-raguan yang terdapat dalam hadits Anas dan menyatakan
bahwa Rasulullah saw telah melakukan qashar jika beliau bepergian dalam jarak
sedikit-dikitnya sejauh tiga mil. Satu farsakh adalah 5541 meter sedang satu
mil 1748 meter.
Adapula yang mengatakan bahwa sedikitnya jarak mengqashar
itu adalah satu mil, hadits yang menjadi alasannya diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dengan isnad yang sah dari Ibnu Umar. Pendapat inilah yang dianut oleh
Ibnu Hazm. Dan sebagai alasan tidak boleh mengqashar bila kurang dari 1 mil,
dikemukakannya bahwa Nabi saw pergi ke Baqi' untuk menguburkan orang-orang yang
meninggal dan keluar ke suatu padang untuk membuang hajat, tapi salatnya tidak
diqasharnya. Adapun syarat yang dikemukakan oleh ahli fiqh bahwa boleh
mengqashar itu hanyalah pada perjalanan jauh, dengan jarak sekurangnya dua atau
tiga marhalah --ada dua pendapat--, maka untuk menolaknya cukuplah uraian yang
dikemukakan oleh Imam Abu Kasim al-Kharqy dalam buku al-Mughni, katanya: "Saya tak dapat menemukan alasan dalam
pendapat imam-imam itu, sebab keterangan-keterangan dari para sahabat juga
saling bertentangan hingga karenanya tak dapat dipakai sebagai hujjah atau dalil.
Dan sebagai diketahui, pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menyalahi pendapat
mereka, dan umpama menyetujuinya tetapi ucapan para sahabat itu taklah dapat
diambil alasan di depan ucapan Nabi dan perbuatan beliau. Dengan demikian, tak
dapatlah diterima ukuran jauh yang mereka sebutkan itu disebabkan dua hal.
Pertama, karena menyalahi sunah Nabi saw yang tersebut dulu, dan kedua karena
lahirnya firman Allah Ta'ala membolehkan qashar bagi orang yang dalam
perjalanan sebagai berikut: "Apabila
kalian bepergian di muka bumi, maka tak ada salahnya bila kamu mengqashar
sholat."
Syarat
karena takut sudah dapat dihilangkan karena hadits Ya'la bin Umaiyah. Maka
tinggallah lahir ayat itu yang mencakup segala macam bepergian, pendeknya asal
sudah disebut bepergian.
Mengenai sabda Nabi saw yang membolehkan seorang musafir
itu mengusap khuf atau sepatunya selama tiga hari, maka hadits itu hanya
menyatakan lama bolehnya menyapu, hingga tak mungkin diterapkan dalam masalah
ini, sebab soalnya berlainan. Lagi pula bepergian jarak dekat dapat saja
ditempuh dalam tiga hari. Sedang ini oleh Nabi saw masih dinamakan bepergian
juga, sebagaimana sabda beliau: "Tidaklah
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian bepergian
selama sehari perjalanan kecuali dengan muhrimnya."
Kedua,
menetapkan batas ukuran itu tidaklah dapat hanya dengan pendapat manusia semata
tanpa dasar atau persamaan yang dapat dikiaskan. Maka alasan yang kuat berada
di pihak orang yang membolehkan qashar bagi setiap musafir, kecuali bila ijma'
menentangnya. Dan dalam hal ini tak ada bedanya bepergian itu dengan kapal
terbang, kereta api dll. Juga baik perjalanan itu dengan tujuan menunaikan
perintah Allah atau untuk maksud-maksud lain. Dan termasuk pula dalam
bepergian, orang-orang yang usaha atau mata pencahariannya mengharuskannya
selalu dalam perjalanan, seperti pelaut, kondektur kereta api, dll, sebab pada
hakikatnya itu juga berarti bepergian. Oleh sebab itu ia boleh mengqashar,
berbuka puasa dll.
Tempat Dibolehkanya Mengqashar
Jumhur ulama
berpendapat bahwa mengqashar salat itu dapat dimulai setelah meninggalkan kota
dan keluar dari daerah lingkungan. Ini merupakan syarat dan seorang musafir
diharuskan lagi mencukupkan salatnya, baru kalau ia sudah memasuki rumah
pertama di daerahnya itu. Berkata Ibnul Mundzir: "Saya tidak menemukan
sebuah keteranganpun bahwa Nabi saw mengqashar dalam bepergian kecuali setelah
keluar dari Madinah."
Anas berkata:
"Saya sholat dhuhur bersama Rasulullah saw di Madinah empat raka'at dan
Dzul Hulaifah dua raka'at." (Riwayat Jama'ah).
Sebagian ulama
salaf berpendapat bahwa seorang yang telah berniat hendak bepergian sudah boleh
mengqashar salatnya, walaupun ia masih berada di rumahnya.
Kapan Seorang Musafir Mencukupkan Salatnya
Seorang musafir
itu boleh terus mengqashar salatnya, selama ia masih dalam bepergian. Jika ia
bermukim di suatu tempat karena suatu keperluan yang hendak diselesaikannya,
maka ia tetap boleh mengqashar, sebab masih terhitung dalam bepegian, walaupun
bermukimnya di sana sampai bertahun-tahun lamanya. Adapun kalau ia bermaksud
hendak bermukim di sana dalam waktu tertentu, maka menurut pendapat yang
terkuat yang dipilih Ibnul Qoyyim, bermukimnya itu belum lagi menghilangkan
hukum bepergian, baik lama atau sebentar, selama ia tidak berniat hendak
menjadi penduduk tetap di sana itu. Dalam hal ini para ulama mempunyai
berbagai-bagai pendapat dan diringkas oleh Ibnul Qoyyim sambil memperkuat
pendapatnya sendiri sebagai berikut:
"Rasulullah saw bemukim di Tabuk selama dua puluh hari dan terus-menerus mengqashar salat dan tidak pernah mengatakan kepada ummatnya supaya tiada seorang pun mengqashar salat bila lebih lama bermukim dari waktu itu, hanya kebetulan saja lama bermukim Nabi saw itu dua puluh hari. Bermukim dalam waktu sedang bepergian tak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik lama atau sebentar, asal saja ia tidak bermaksud hendak menetap di sana sebagai penduduk. Di kalangan ulama-ulama salaf dan khalaf, banyak terdapat pertikaian mengenai masalah ini. Dalam shahih Bukhari dari Ibnu 'Abbas katanya: "Nabi saw bermukim dalam salah satu perjalanannya selama sembilan belas hari dan selalu salat dua raka'at. Maka kami pun kalau bermukim dalam perjalanan selama sembilan belas hari, kami akan tetap mengqashar dan kalau lebih dari itu, akan kami cukupkan."
"Rasulullah saw bemukim di Tabuk selama dua puluh hari dan terus-menerus mengqashar salat dan tidak pernah mengatakan kepada ummatnya supaya tiada seorang pun mengqashar salat bila lebih lama bermukim dari waktu itu, hanya kebetulan saja lama bermukim Nabi saw itu dua puluh hari. Bermukim dalam waktu sedang bepergian tak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik lama atau sebentar, asal saja ia tidak bermaksud hendak menetap di sana sebagai penduduk. Di kalangan ulama-ulama salaf dan khalaf, banyak terdapat pertikaian mengenai masalah ini. Dalam shahih Bukhari dari Ibnu 'Abbas katanya: "Nabi saw bermukim dalam salah satu perjalanannya selama sembilan belas hari dan selalu salat dua raka'at. Maka kami pun kalau bermukim dalam perjalanan selama sembilan belas hari, kami akan tetap mengqashar dan kalau lebih dari itu, akan kami cukupkan."
Menurut lahirnya
ucapan Ahmad, yang dimaksud oleh Ibnu Abbas itu adalah bermukimnya Nabi saw di
Mekah di waktu kota itu dibebaskan. Tetapi, sebenarnya bermukimnya di Mekah itu
lamanya delapan belas hari, sebab beliau akan melanjutkan perjalanan ke Hunain
dan di sana tidak bermaksud akan bermukim. Inilah bermukimnya Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas itu. Ada pula yang mengatakan bahwa maksud Ibnu
Abbas ialah ketika bermukimnya Nabi saw di Tabuk, sebagai yang diriwayatkan
oleh Jabir bin Abdillah katanya:
"Nabi saw bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan selalu mengqashar salatnya." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya).
"Nabi saw bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan selalu mengqashar salatnya." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya).
Mishwar bin
Mahramah berkata: "Kami bermukim dengan Sa'ad di salah satu desa di wilayah
Syam selama empat puluh hari. Selama itu Sa'ad tetap mengqashar, tetapi kami
mencukupkan." Nafi berkata: "Abdullah bin Umar bermukim di Azerbaijan
enam bulan dan tetap salat dua raka'at ketika tertahan oleh salju waktu
memasukinya." Hafash bin Ubaidullah mengatakan bahwa Anas bin Malik
bermukim di Syam dua tahun dan terus salat sebagai seorang musafir. Dan menurut
Anas, para sahabat Nabi saw bermukim di Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap
mengqashar salat, sedang menurut Hasan, ia bermukim dengan Abdurrahman bin
Samurah di Kabul selama dua tahun, dan Abdurrahman terus mengqashar tetapi
tidak menjama'. Kemudian Ibrahim mengatakan pula bahwa para sahabat pernah
bermukim di Rai selama satu tahun atau lebih dan di Sajistan selama dua tahun.
Nah, inilah dia petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah saw dan dicontohkan
oleh para sahabatnya dan memang itulah yang benar. Adapun pendapat orang-orang
itu, di antaranya ialah yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bahwa jika seorang
berniat hendak bermukim selama empat hari, maka harus mencukupkan salatnya, dan
kalau kurang masih boleh mengqashar. Mengenai hadits Nabi saw dan perbuatan
para sahabat itu mereka menafsirkannya bahwa baik Nabi saw maupun para sahabat,
tidak bermaksud akan bermukim, tetapi mereka selalu mengatakan: "Hari ini
atau esok kita akan pergi."
Tetapi dalam hal
ini ada satu hal yang harus menjadi perhatian, yaitu bahwa Rasulullah saw
membebaskan kota Mekah --sebuah kota yang sudah sama dimaklumi keadaannya-- dan
bermukim di sana adalah dengan tujuan hendak mengokohkan asas-asas keislaman
serta menghancurkan sendi-sendi kemusyrikan dan mempersiapkan segala sesuatu
bagi orang Arab sekelilingnya. Pekerjaan seberat itu tentulah memerlukan waktu
berhari-hari dan tidak cukup hanya sehari dua saja. Demikian pula waktu di
Tabuk untuk menantikan kedatangan musuh, karena antara Tabuk dan tempat
kediaman musuh jaraknya bermil-mil. Nabi saw tentu maklum, bahwa untuk maksud
tersebut tidak cukup waktu empat hari saja. Demikian pula ketika Umar bermukim
di Azerbaijan selama enam bulan dan tetap mengqashar sebab terhalang oleh
salju. Teranglah sudah bahwa salju itu tidak akan cair hingga jalan akan
terbuka didalam waktu empat hari. Juga Anas yang bermukim di Syam selama dua
tahun serta sahabat-sahabat yang bermukim di Ramhurmuz tujuh bulan dengan tetap
mengqashar, tentulah mereka mengerti bahwa mengepung musuh dan berperang itu
tidak cukup dalam waktu empat hari pula.
Sahabat-sahabat
Imam Ahmad mengatakan dalam pada itu, bahwa kalau bermukim untuk berjihad atau
dipenjarakan oleh pihak penguasa atau sebab sakit, maka boleh mengqashar, baik
bermukim itu menurut taksiran akan berjalan lama atau sebentar. Ini memang
suatu pendapat yang benar. Tetapi anehnya, mereka mengemukakan pula suatu
syarat yang sama sekali tidak berasal dari kitabullah, dari sunah Nabi atau
ijma' dan tidak pula dari amal perbuatan salah seorang sahabat. Kata mereka
syaratnya itu ialah bahwa dalam takaran itu hendaknya ada kemungkinan bahwa
urusan itu akan dapat selesai dalam waktu yang tidak menghapus hukuman
bepergian, yakni dalam waktu yang kurang dari empat hari.
Sekarang baiklah
kita ajukan suatu pertanyaan pada mereka. Dari manakah tuan-tuan peroleh syarat
tersebut, padahal Nabi saw sendiri, ketika beliau bemukim lebih dari empat
puluh hari, dan tetap mengqashar salat, baik di Mekah maupun di Tabuk, tak
pernah mengatakan suatu apa pun dan tak pula menerangkan bahwa beliau tidak
bermaksud akan bermukim lebih dari empat hari, padahal beliau mengetahui bahwa
perbuatan beliau akan menjadi contoh dan teladan bagi umat, dan bahwa mereka
akan mengqashar pula di waktu mukim? Ternyata tidak sepatah katapun keluar dari
mulut beliau yang melarang qashar bila bermukim lebih dari empat hari itu,
padahal penjelasan mengenai ini amat diperlukan sekali. Begitu pula halnya
perbuatan para sahabat di belakang yang mengikut Nabi saw tidak pula mereka
mengatakan suatu apa kepada orang-orang yang mengqashar bersama mereka.
Mengenai
pendapat Malik dan Syafi'i, kedua imam ini mengatakan bahwa jika seorang
berniat hendak mukim lebih dari empat hari, harus mencukupkan salat, dan kalau
kurang boleh mengqashar. Abu Hanifah ra berpendapat, jika berniat mukim lima
belas hari, harus mencukupkan dan kalau kurang boleh mengqashar. Ini juga
merupakan pendapat al-Laits bin Sa'ad dan menurut riwayat, juga dianut oleh
tiga orang sahabat, yaitu Umar, Abdullah bin Umar dan Ibnu Abbas. Sa'id Ibnul
Musayyib mengatakan jika seorang bermukim selama empat hari, hendaklah ia
mencukupkan salatnya empat raka'at. Tetapi ada juga riwayat yang mengatakan
bahwa pendapat Ibnul Musayyib ini sama seperti Mazhab Abu Hanifah. Menurut Ali
bin Abi Thalib ra jika bermukim sepuluh hari, harus mencukupkan. Ini ada juga
yang meriwayatkan sebagai pendapat Ibnu Abbas. Dalam pada itu Hasan mengatakan
bahwa boleh terus mengqashar selama seseorang belum kembali ke tempatnya
semula, sementara Aisyah berkata bahwa dibolehkan selama belum lagi meletakkan
perbekalan dan wadahnya. Tetapi para imam yang berempat ra bersepakat bahwa
kalau bermukimnya seseorang itu karena ada sesuatu keperluan yang harus
diselesaikan dan selama menunggu itu ia mengatakan: "Saya akan pulang hari
ini atau esok," maka selama itu ia boleh tetap mengqashar. Hanya dalam
salah satu pendapat Imam Syafi'i, bahwa kalau keadaannya seperti demikian, maka
dibolehkannya mengqashar itu terbatas tujuh belas atau delapan belas hari, dan
jika lebih dari itu, maka harus mencukupkan. Dalam hal ini Ibnul Mundzir
mengatakan dalam satu penyelidikannya, bahwa para ahli telah ijma' bahwa
seorang musafir itu dibolehkan tetap mengqashar selama ia tidak bermaksud akan
terus menetap di sana, walaupun bermukimnya itu berlangsung selama waktu
bertahun-tahun.
Salat Sunah dalam Perjalanan
Jumhur ulama
berpendapat bahwa mengerjakan salat sunah, bagi orang yang boleh mengqashar karena
bepergian itu tidaklah makruh sekali-kali baik berupa sunnah rawatib maupun
lainnya.
Dalam riwayat
Bukhori dan Muslim diceritakan: "Bahwa Rasulullah saw mandi di rumah Ummu
Hani sewaktu Mekah dibebaskan, lalu salat delapan raka'at."
Dan dari Abdillah
bin Umar diriwayatkan: "Bahwa Nabi saw salat di atas punggung kendaraannya
menghadap ke arah yang ditujunya dengan memberi isyarat dengan kepalanya."
Berkata Hasan:
"Para sahabat Nabi saw juga salat sunah dalam bepergian, baik sebelum atau
sesudah salat fardhu." Tetapi Ibnu Umar dll berpendapat bahwa salat sunah
sewaktu bepergian, baik sebelum atau sesudah salat fardhu itu tidak
disyareatkan, kecuali salat ditengah malam. Bahkan sewaktu pada suatu hari
dilihat Ibnu Umar ada orang yang sholat sunah setelah salat fardhu dalam
perjalanan, maka katanya: "Seandainya saya hendak salat sunah, tentulah
saya akan mencukupkan salat fardhuku --tidak mengqashar-- Hai sahabat, saya
sering mengiringkan Rasulullah saw dan saya lihat tak pernah beliau melakukan
lebih dari dua raka'at sampai wafatnya. Saya juga mengiringkan Abu Bakar, maka
salatnya juga tidak berlebih dari dua raka'at. Demikian halnya Umar dan Utsman.
Lalu dibacakanlah ayat yang artinya: "Sesungguhnya
dalam perilaku Rasulullah saw itu , contoh sebaik-baiknya bagi kamu."
(Riwayat Bukhori).
Kedua maksud
hadits di atas, yakni apa yang diriwayatkan oleh Hasan dan yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar, dikompromikan oleh Ibnu Qudama, bahwa hadits Hasan menunjukan
tak ada salahnya bila dilakukan, sedang hadits Ibnu Umar tak ada salahnya pula
bila ditinggalkan.
Sumber: Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam
Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar